Mohon tunggu...
Swan Dito
Swan Dito Mohon Tunggu... -

Seorang calon manula yang ingin hidup praktis, sederhana tapi membawa ketentraman dan kedamaian batin. Hidup sehat dan bahagia adalah pilihan saya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dengarkan Suara Batin, Itulah Pelindung Kita...

27 Januari 2016   17:10 Diperbarui: 27 Januari 2016   18:54 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau kita membaca buku2 tentang spiritualitas, disana banyak diterangkan tentang tiga unsur tubuh manusia, yaitu raga (physik), pikiran (mental) dan batin (spirit). Badan raga atau physik adalah bentuk yang paling kasar, kemudian pikiran yang lebih halus dan batin atau roh yang paling halus (?). Kebanyakan kita tahu, bahwa saat kita tidur, kita berada dialam batin (roh), karena badan raga dan pikiran kita sedang istirahat.

Siapa yang nuntun saya pulang kerumah...

Tahun sekitar 1955, hiburan rakyat paling populer didaerah saya adalah Sekaten, seperti pesta rakyat yang diselenggarakan oleh pihak keraton setiap tanggal lima bulan Jawa Mulud. Bertepatan dengan hari lahir nabi Muhammad SAW. Saya masih ingat betul, waktu itu saya belum masuk sekolah, usia kira2 tiga tahun. Bersama kakak laki2 saya yang usianya beda setahun dengan saya, digandeng kanan kiri oleh paman, adik ibu yang tinggal serumah dengan kami. Berangkat berjalan kaki setelah hari gelap menuju alun2 keraton yang berjarak kira2 tiga atau empat kilometer dari rumah. Nonton perayaan sekaten untuk yang pertama kali dalam hidup saya.

Dijaman itu kendaraan yang menguasai jalanan hanyalah gerobak sapi, kereta kuda, becak dan sepeda. Yang namanya mobil dan motor bisa dihitung dengan jari.

Kejadiannya, sewaktu berdesak desakan dengan begitu banyak orang diarena sekaten, saya terlepas dari gandengan tangan paman saya. 

Ya, saya hilang ditengah keramaian orang2 yang saling berdesakan. Setelah itu saya tidak ingat apa yang saya perbuat. Satu hal yang pasti adalah saya tidak menangis, karena kalau saya menangis pasti saya sudah dibawa ke pos penjagaan, dilaporkan sebagai anak hilang.

Yang saya ingat kemudian adalah saya sudah tiba dirumah dan mengetuk pintu. Ibu saya yang membukakan pintu. Mungkin ibu saya kaget bagaimana seorang anak kecil bisa pulang sendiri kerumah setelah hilang di alun2, pada malam hari lagi.

Setelah lama mencari saya dan tidak ketemu, paman dan kakak saya pulang kerumah untuk melaporkan bahwa saya hilang. Tapi ternyata saya telah tidur nyenyak dan baru keesokan harinya orang tua saya bertanya bagaimana saya bisa menemukan jalan pulang kerumah. Pasti jawaban saya ngaco belo...hehehe.

Sejak saat itu, sampai saya dewasa, saya selalu ingat rute jalan yang saya tempuh waktu hilang dulu, dari alun2 sampai kerumah. Kayak dejavu, gitu...

Yang selalu membuat saya merenung adalah siapa yang menuntun saya pulang kerumah ? Bagaimana saya bisa mengenali jalan pulang kerumah sedangkan saya seumur segitu, belum pernah keluar rumah sendirian.

Setelah saya dewasa, saya tiba pada satu kesimpulan bahwa yang menuntun dan menyelamatkan saya adalah 'spirit' atau batin yang ada didalam diri saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun