[caption id="attachment_102488" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi-Poster rencana gedung DPR RI/Admin (KOMPAS)"][/caption] Drama pembangunan Gedung DPR telah memasuki babak klimak , banyak kritik dan ketidaksetujuan masyarakat telah diajukan, survey/jajak pendapat telah banyak dilakukan yang hasilnya cenderung tidak setuju, bahkan Presiden SBY telah menyatakan pendapatnya agar dilakukan efisiensi penggunaan anggaran negara. Saat ini tarik ulur masih terjadi, polemik di ranah politik telah melebar ke ranah hukum tentang dugaan korupsi dalam proses tender konsultan. Tulisan ini tidak berpretensi politis, namun ingin mengembalikan porsi masalahnya pada profesi Arsitektur yang mestinya menjadi domain para arsitek Indonesia dalam perencanaan gedung DPR ini. POLITISASI ARSITEKTUR Keputusan tentang pembangunan gedung DPR ini telah menjadi ”keputusan politik”. arsitektur telah benar-benar menjadi sebuah sarana, instrumen : ”instrumen politik”. Semua kaidah-kaidah arsitektur , semua akal sehat dalam berarsitektur sudah tidak penting lagi. ”The architecture is dead”., demikian pula ”the architect is dead” ( padahal sampai saat ini kita tak tahu siapa sang maestro arsitek perancang gedung DPR ini). Arsitektur dipaksa mengabdi pada kepentingan politik, dan itu ada konsekwensinya. Manakala nanti ternyata keputusan politik itu keliru maka arsitektur akan turut menanggung beban dosanya. Gedung DPR tersebut akan menjadi monumen , sebuah monumen kekeliruan politik , sebuah monumen penyesalan. ”A thing of beautiful, is a joy forever ” akan menjadi ” a thing of ugly is an upset forever” dan kata Aldo Rossi akan menjadi ”patologic monument” (monumen yang sakit). Pada jaman kerajaan Romawi memang peran arsitek adalah “the right hand of the king” karena sebagai owner “the king can do no wrong”. Tapi pada jaman demokrasi hari ini sudah bukan jamannya lagi arsitek hanya sebagai tangan kanan dari the owner yang bisa berbuat sekehendak hatinya ( tiranik dan hedonik). Lagi pula gedung DPR adalah gedung rakyat, owner sesungguhnya adalah rakyat, anggota DPR adalah representasi dari suara rakyat . Maka sangat keliru bila pimpinan DPR mengatakan : “Rakyat biasa jangan diajak membahas pembangunan gedung baru, hanya orang-orang elite, orang-orang pintar yang bisa diajak membicarakan masalah itu” (Kompas 5/4). “Vox populi vox Dei” , suara rakyat adalah suara Tuhan, suara kebenaran hanya perlu kearifan ,wisdom, kepatutan, bukan analisa yang dakik –dakik quasi scientific (ilmiah semu). Dan “sang arsitek” mestinya bukan “rakyat biasa” harusnya bisa bersuara lantang dan berperan menentukan dalam urusan membangun gedung yang menjadi domain profesionalnya. Domain profesi arsitektur adalah perencanaan “ruang dan bentuk” (space and form) lingkungan binaan bagi kehidupan manusia. Arsitek dilengkapi ilmu yang bersifat eksoteris yang tak dipunyai profesi lain dalam menciptakan ruang dan wujud bangunan. Tidak sekedar menata menjadi “indah” saja tapi menjustifikasi kelayakan kebutuhan ruang-ruang yang akan dibangun. Nah,di titik inilah letak permasalahan pokoknya berawal, seandainya sang arsitek mampu bersikap profesional dan otoritatif (bukan otoriter) terhadap bidang keilmuannya mungkin tidak akan terjadi masalah pembangunan gedung yang terlalu luas dan mahal seperti Gedung DPR ini. Arsitek tidak boleh berarsitektur sekedar memenuhi pesanan, arsitek harus berani mengatakan ”tidak” terhadap program-program yang tidak masuk akal, yang hedonik konsumtif apalagi bila itu proyek gedung Pemerintah yang dibiayai oleh uang rakyat. Dimasa euforia otonomi daerah misalnya, Pemda di daerah pedalaman yang sulit dicapai berkeinginan membangunan universitas baru (siapa murid dan dosennya nanti) , Rumah Sakit tipe B bertingkat banyak ( penduduk sedikit, cukup tipe C , tidak perlu bertingkat ), Stadion dengan tribun berkapasitas puluhan ribu orang (tidak pernah akan ada pertandingan besar), dan masih banyak lagi yang tidak masuk akal. Arsitek harus berani menolaknya, Arsitektur mestinya punya missi yang lebih luhur, menyuarakan kebenaran, keadilan dan memihak rakyat. ” Give the true answer to your client, to your people”. Gedung DPR mestinya menjadi magnum opus arsitek Indonesia , karena status gedung DPR yang tinggi sebagai lembaga tinggi Negara yang akan menjadi monumen kebanggaan seluruh rakyat Indonesia , menjadi tempat suara rakyat direpresentasikan oleh para wakilnya yang terhormat. PROGRAM YANG BERMASALAH Mengingat proyek ini telah menjadi isu nasional , kiranya belum terlambat kita menoleh sejenak kebelakang, mengkaji kembali proses perencanaan yang sudah dilakukan. Ada 2 adagium yang perlu diketahui dalam dunia proyek pembangunan, yang pertama ”lebih baik membongkar gambar (rencana) daripada membongkar bangunan” , yang kedua ” dari segi biaya tahap awal (perencanaan) memang lebih kecil biayanya dibanding tahap akhir (pembangunan fisik) , namun dari segi tingkat kegagalan berbanding terbalik” . Artinya meskipun tahap konstruksi berjalan dan berhasil baik , bangunan menjadi tidak ada gunanya kalau salah perencanaan misalnya salah lokasi, salah program, salah konsep. Justru pada tahap awal dengan biaya lebih kecil itu terkandung resiko kegagalan yang besar. Tahap awal perencanaan arsitektur gedung adalah program ruang, dan faktor inilah yang akan menentukan besarnya biaya pembangunan disamping pemilihan material bangunan dan perlengkapan teknis bangunan lainnya. Rancangan gedung DPR yang telah dibuat adalah 36 lantai dengan luas ruang 156.586 m2 untuk 700 orang anggota DPR dengan 5 tenaga ahli dan 1 orang staff pribadi dengan luas ruang tiap anggota 120 m2. Jadi akan direncanakan 84.000m2 ruang kerja yang akan ditempati 4200 orang anggota bersama tenaga akhli dan staff pribadinya. Sisanya seluas 72.586 m2 untuk ruang-uang rapat , sekretariat, sirkulasi, utilitas dan juga ruang istirahat dan rekreasi. Efesiensi ruang Profesi arsitektur bertanggungjawab terhadap perencanaan ruang termasuk efektifitas penggunaannya, dan mencari pemecahan bagaimana manajemen tata ruangnya. Apakah betul efektif setiap anggota DPR yang berjumlah 700 orang diberi ruang dengan 5 tenaga akhli dan 1 staff pribadi ? Kalau banyak anggota DPR yang sering tidak hadir maka akan sia-sialah ruang seluas dan sebanyak itu (utilisasi ruang rendah). Disinilah diperlukan keberanian moral seorang arsitek untuk mengatakan yang sebenarnya bahwa rencana itu akan sia-sia. Demikian pula halnya dengan ruang-ruang istirahat/rekreasi, kolam renang, fitness, Spa, toko, bukankah ini fasilitas yang konsumtif hedonik sementara masih banyak rakyat yang diwakili hidup di bawah garis kemiskinan ? Arsitek harus kreatif mencari cara penggunaan ruang yang lebih efektif misalnya menyatukan ruang-ruang staf akhli sesuai kelompoknya, demikian pula untuk ruang-ruang umum seperti ruang rapat bisa dikurangi dengan menjadwal penggunaannya. Seperti dalam perencanaan kampus masa kini tidak perlu setiap fakultas mempunyai ruang kuliah masing-masing, ruang kuliah bisa digunakan oleh mahasiswa dari fakultas manapun dengan mengatur jadwal penggunaannya secara ketat. Untuk bangunan sebesar gedung DPR diperlukan Manajer Operasional yang menangani Building Operational Management System dengan mengoperasionalkan manajemen gedung berbasis IT yang canggih dan modern. Renovasi gedung lama Bila perhitungan diatas didasarkan atas kebutuhan ruang untuk semua anggota DPR yang berjumlah sekitar 700 orang itu, lalu yang menjadi pertanyaan kita : selama ini dimanakah para anggota DPR itu berkantor ? Memang jumlah dan aktivitas anggota sejak era reformasi bertambah, bukankah pertambahannya saja yang perlu diberi ruang baru ? Lantas ada apa dengan gedung yang sudah ada? Apakah memang gedung lama sudah tidak layak lagi karena telah miring 7% karena gempa ? Ini lebih gawat dari menara Pisa yang miring 3,9% . Bila demikian halnya maka para anggota Dewan yang kini berkantor disitu harus segera dievakuasai , bisa runtuh sewaktu-waktu. Pembangunan gedung baru memang perlu raison d’etre , namun alasan haruslah masuk akal .Gedung lama mestinya bisa diperbarui dengan upaya renovasi yang biayanya jelas akan jauh lebih murah. Bila dilakukan renovasi gedung lama maka luas gedung baru yang dibutuhan pasti akan berkurang . Dibutuhkan kreatifitas sang arsitek untuk merenovasi gedung yang ada dan menyesuaikan rencana gedung baru sehingga secara keseluruhan kompleks DPR akan tetap harmonis dengan tatanan yang baru. ARSITEKTUR SEBAGAI SIMBOL Selain sebagai wadah kegiatan fungsional arsitektur juga mempunyai nilai simbolik yang mencerminkan gagasan/nilai-nilai dan peran dari penghuninya. DPR adalah lembaga perwakilan rakyat yang berfungsi menampung aspirasi rakyat. Lalu apa yang ingin ditampilkan dengan arsitektur gedung berlubang seperti gawang itu dan yang menjadi titik sentral dalam tatanan sumbu komplek gedung DPR ini? Keputusan untuk membangun sering tidak didasarkan atas kebutuhan riil ,namun ada sisi lain seperti gairah menciptakan Icon , Arsitektur sebagai penanda atas sebuah pertanda. Sebagai sebuah penanda maka gedung DPR harus mempunyai ciri yang mudah dilihat baik itu tatanannya (konfigurasi massa dan ruang luarnya) , ukurannya ( besarnya), bentuknya ( form dan stylenya) dan penggunaan materialnya. Penanda ini dimaksudkan sebagai perwujudan dari sebuah pertanda yaitu konsep, angan-angan, gagasan dari penggagasnya dalam hal ini tentu saja para wakil rakyat . Banyak contoh bangunan iconik yang dengan tepat menjadi simbol atau penanda dari aktivitas yang ada di dalamnya , salah satu contoh adalah Gedung DPR Brasilia yang diarsiteki Oscar Niewmeyer berwujud cawan sebagai perwujudan pertanda bahwa di gedung ini berkantor para wakil rakyat yang bertugas menampung aspirasi rakyat. Namun dalam dua dekada terakhir muncul gedung-gedung iconik yang dibuat sebagai pemenuhan hasrat atau ego dari pemiliknya untuk membuat gedung yang spektakuler . Salah satunya gedung Swiss Re di London yang berbentuk palus ( lihat film Basic Instink 2 ). Pesta Piala Dunia juga menjadi sarana negara penyelenggaranya untuk menampilkan icon kemajuan bangsanya dengan membuat stadion-stadion yang hebat seperti di Afrika Selatan baru-baru ini, atau di Korea Selatan dan China sebelumnya. Namun satu hal yang jelas , bangunan Iconik ini pasti mahal biayanya karena skala yang besar dan bentuk yang spektakuler sehingga konstruksi jadi mahal. Sebagai contoh Pemerintah Australia harus ber tahun-tahun menanggung defisit akibat pembangunan Sydney Opera di Sydney dan pembangunan gedung Parliament House di Canberra perlu waktu beberapa tahun pendanaannya, Afrika Selatan terdengar sudah mulai kesulitan dana memelihara gedung-gedung Stadion Piala Dunia yang baru dibangun. Hanya China yang punya visi bisnis tajam tidak kesulitan dana untuk memelihara stadion Bird Nest yang dengan beraninya diletakkan di tengah kota sehingga mudah dikunjungi wisatawan hampir 100.000 orang tiap hari dengan tiket masuk 75 renminbi. Kembali pada rancangan gedung DPR yang sudah dibuat,, dari ukuran besar bangunan dan dananya jelas bangunan ini adalah satu perwujudan megalomania. Satu hasrat bawah sadar “Kehendak untuk Berkuasa” (“ Will to Power” kata Nitsczhe) lewat pembangunan gedung, “ Saya membangun maka saya Ada” mengubah sedikit kata Descartes, cogito ergo sum. Begitulah bahwa Gedung atau Arsitektur adalah sarana atau sekedar alat untuk tujuan yang lebih tinggi berdasarkan keputusan yang sudah dianggap betul tanpa harus dipertanyakan lagi (zweck rationaliteitnya Weber) Belajar dari Arsitektur tradisional keraton Jogja , yang didirikan mengikuti sumbu Keraton – Gunung Merapi dengan Tugu diantaranya, jelas bahwa Keraton Jogja menghadap puncak Gunung Merapi yang dipercaya sebagai tempat yang sakral persemayaman para Hyang (dewa). Atau permukiman tradisional Bali yang ditata dengan pola grid Nawasanga dengan sumbu Kaja – Kelod (Utara-Selatan) dan Dauh – Kangin ( Timur-Barat) , Timur sebagai arah matahari terbit dimaknai sebagai sumber kehidupan , sedangkan Utara arah gunung Agung dimaknai sebagai arah yang sakral tempat persemayaman para Dewa .sesuai kepercayaan Hindu yang dianutnya. Lantas apa yang diharapkan dari rancangan gedung DPR ini, mengarah kemanakah sumbunya, apa yang ada dibelakang gawang itu ? Bayangkan bila dibelakang nantinya berdiri sebuah Mall atau Hotel , maka Gedung DPR ini akan dilatar belakangi oleh monumen konsumtif masyarakat urban yang hedonik. Gedung DPR ini mestinya dirancang dengan konsep yang berbobot dengan memasukkan nilai-nilai sakral mengingat kedudukannya yang tinggi, dan dengan memasukkan ciri-ciri arsitektur Nusantara yang menjadi budaya kita sendiri. Mampu menjadi simbol yang otentik, orisinal , tidak sekedar fotocopi dari bangunan-bangunan berlanggam pasca modern tanpa makna seperti gedung DPR Chili di Valparaiso atau sebuah kantor dagang di New Mexico (lihat gambar). Murdiyat , seorang arsitek Indonesia yang merancang Kualalumpur Tower, 15 tahun lalu pernah merancang gedung serupa berbentuk gawang dalam sayembara arsitektur Menara Jakarta di Kemayoran (yang tidak jadi dibangun).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H