NAZARUDDIN SYNDROME : HYPER KORUPSI PROYEK (Ngono yo ngono ning ojo ngono)
Oleh : Alim Setiawan
Panggung politik saat ini sedang memainkan drama komedi dengan aktor utama Nazaruddin. Alih-alih akan menjadikan terang perkaranya, karena judulnya komedi maka yang akan terjadi adalah anti klimak , semuanya adalah simulakra kepalsuan, tidak jelas lagi mana yang benar mana yang salah, kebenaranpun akan menjadi bahan komedi, tontonan , fiksi berkelidan dengan fakta, semuanya absurd.
Diluar hingar bingar politik dan hukum , ada satu hal yang perlu dicermati yaitu Nazaruddin cs telah menggelumbungkan nilai fee/komisi menjadi diatas 20%. Nilai ini fantastis bagi umumnya Kontraktor di Indonesia karena selama ini untuk menyisihkan komisi sebesar 10% dalam proyek pembangunan gedung Negara sudah sangat sulit direalisir. Korupsi di Proyek Wisma Atlit dan proyek lain yang dikelola Nazaruddin ini bisa disebut Hyper Korupsi Proyek.
Sejarah Korupsi Proyek Gedung Pemerintah
Era tahun 1970-2000 : Orde Baru
Proyek pembangunan gedung Pemerintah meningkat volumenya sejak awal Orde Baru dengan melonjaknya harga minyak bumi diawal tahun 70an yang membawa berkah bagi Indonesia sehingga tersedia dana melimpah untuk membiayai pembangunan fisik yang diprogramkan dalam Repelita . Dengan Trilogi Pembangunan yang salah satunya adalah azas pemerataan maka Pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para insinyur Indonesia untuk menjadi Konsultan maupun Kontraktor . Sebelumnya urusan pengadaan gedung Pemerintah ditangani langsung oleh Djawatan Gedung-gedung Negara Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik ( DGN-PUTL). Jumlah Konsultan masih dapat dihitung dengan jari dan Kontraktor masih didominasi BUMN.
Untuk itu Pemerintah mengadakan Seminar Tertib Pembangunan di tahun 1969 guna menyusun pranata pembangunan yang akan mengatur bagaimana proyek Pemerintah dilaksanakan. Di tahun berikutnya (1971) keluarlah untuk pertama kalinya buku Pedoman Tata cara Penyelenggaraan Pembangunan Bangunan Gedung Negara yang dikeluarkan sebagai Surat Keputusan Direktur Jenderal Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum ,sementara sebelumnya Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) mengeluarkan Buku Pedoman Hubungan Kerja antara Ahli dan Pemberi Tugas yang pertama (1969) lengkap dengan Kode Etik Arsitek Indonesia.
Dalam buku Pedoman tersebut diatur antara lain bagaimana menyusun Program Kebutuhan , Proses Tender, Tugas dan Tanggung jawab Konsultan/Kontraktor. Pada intinya yang ditekankan adalah pembangunan gedung Pemerintah harus dilakukan oleh pihak yang profesional . Untuk Kontaktor dilakukan tender dengan azas “the lowest responsible bid” atau yang ditunjuk adalah penawar yang terendah yang masih bisa dipertanggungjawabkan. Pemerintah menentukan standard harga satuan gedung permeter persegi untuk seluruh daerah di Indonesia. Untuk Konsultan Perencana/Pengawas dibuatlah tabel fee berdasarkan prosentase yang bersifat regresif (makin besar nilai proyek makin kecil fee), penunjukkan dilakukan lewat sayembara,pemilihan/penunjukkan langsung atau tender dengan menilai proposal teknis yang terbaik.
Pada saat itu semangat profesionalisme masih demikian tinggi, penunjukkan Konsultan ataupun Kontraktor didasarkan atas kemampuan profesional bukan atas besarnya komisi pada Pejabat.
“Tanpa memberikan komisi, para Insinyur Indonesia saat itu sudah kebanjiran proyek karena populasi (jumlah) Konsultan dan Kontraktor masih sedikit sementara proyek melimpah. Inilah era keemasan para Insinyur Indonesia”.
Kondisi ideal itu berjalan kira-kira selama satu dekada , namun meningkatnya penghasilan/ kesejahteraan Kontraktor dan Konsultan ini mengakibatkan ketimpangan penghasilan dengan para Pejabat yang mengelola proyek yang notabene adalah Pegawai Negeri . Mulailah diawal 80an muncul apa yang namanya komisi, pemberian yang awalnya berupa sekedar ”rasa terima kasih” kemudian meningkat tuntutannya menjadi “profit sharing ” yang ditarget, nilai berkisar 5%-7% dari nilai proyek. Hal ini juga dipicu oleh meningkat nya dengan pesat jumlah Konsultan dan Kontraktor sehingga persaingan untuk mendapatkan proyek makin ketat.
Perlu digaris bawahi bahwa di Era Orde Baru ini , besarnya komisi proyek rata-rata dibawah angka 10% karena nilai biaya pembangunan gedung sudah ditetapkan harga standard permeter perseginya, bila dipotong komisi 10% dapat dipastikan gedung tidak akan jadi.
Sebagai contoh :
Pembangunan sebuah Kantor Dinas di Jakarta dengan waktu pelaksanaan 6 bulan.
Harga standard Gedung Pemerintah per m2………………. ................Rp. 3.500.000,-
HPS Bangunan seluas 1000 m2 ...............................................Rp. 3.500.000.000,-
Penawaran pemenang tender 90% x HPS..................................Rp. 3.150.000.000,-
Setelah dipotong PPn 10% .....................................................Rp. 2.863.636.400,-
Setelah dipotong PPh 1.5% ...................................................Rp. 2.820.000.000,-
Setelah dipotong Overhead 5% ..............................................Rp. 2.662.500.000,-
Setelah dipotong keuntungan 10% ..........................................Rp. 2.347.500.000,
Setelah dipotong komisi 10% ...................................................Rp. 2.052.000.000,-
Harga bangunan akhirnya Rp. 2.052.000.000,-/1000m2 = Rp. 2.052.000,-/m2
(Harga disesuaikan dengan NPV)
Terlihat diatas bila komisi disediakan 10% maka sisa biaya pembangunan menjadi
Rp. 2.000.000,-/m2, ini sudah merupakan angka yang minimum. Overhead 5% dialokasikan untuk berbagai pengeluaran selama Proyek , mulai dari biaya administrasi tender “diatur” , preman di seputar lokasi, penagihan setiap angsuran yang semuanya sudah menjadi rahasia umum. Keuntungan 10% adalah keuntungan kotor yang masih akan dipotong untuk biaya umum kantor, gaji pegawai di lokasi proyek dan di kantor.
Bila Kontraktor tidak mampu bekerja secara efisien yang terjadi adalah berkurangnya keuntungan atau malah rugi dan mutu bangunan dibawah standard. Pekerjaan Kontraktor bukanlah pekerjaan yang ringan, dan merupakan salah satu usaha yang paling rumit di dunia yang mengurusi ratusan item pekerjaan mulai dari pembelian paku, pasir, batu, wastafel, closet, kunci, engsel, kabel, lampu, skakelar sampai lift, pompa , genset dan masih banyak lagi. Maka tidak salah bila dikatakan Kontraktor dalam struktur Proyek berada dalam kasta Sudra sementara Pejabat Proyek, Konsultan berada diatasnya sebagai Ksatria, Weisya dan Brahmananya .
Karena itu angka komisi 10% yang dibagi diantara banyak pihak terkait mulai proses tender sampai selesainya pelaksanaan adalah ambang batas angka teknis sekaligus angka psikologis, tidak adil rasanya bila nilai komisi lebih besar dari keuntungan Kontraktor yang dipatok sebesar 10 %, dengan masih harus menanggung risiko rugi selama penyelesaian proyek.
Era tahun 2000 kini : Orde Reformasi
Dalam konstelasi politik di era Reformasi , Legislatif mendapat peran yang menentukan dalam persetujuan anggaran Proyek. Partai Politik memerlukan dana yang tidak sedikit untuk menjalankan roda organisasinya, maka anggaran APBN dijadikan salah satu lahan yang dimanfaatkan untuk menghimpun dana politik Hal ini terlihat jelas dalam kasus Wisma Atlit dimana proses korupsi sudah direncanakan sejak penentuan anggaran di DPR.
Ada perubahan pola dalam proses korupsi sehingga nilai komisi bisa meningkat fantastik sampai melebihi 20%. Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Dari uraian diatas bila harga bangunan secara benar dipatok sesuai harga standard maka untuk menyisihkan nilai komisi 10% saja sudah akan sulit, lalu pos anggaran mana yang di mark-up ?
Dalam proyek gedung ada 2 komponen harga yaitu biaya Gedung dan biaya Instalasinya . Biaya Gedung terdiri dari mulai pondasi , struktur atas , finishing, mekanikal/elektrikal /plumbing. Biaya item pekerjaan ini semua sudah termasuk dalam harga standard Rp. 3.500.000,-/m2 . Instalasi Teknis dalam gedung yang tidak masuk kategori standard seperti AC, Genset, Fire Alarm/Fighting , Lift , Escalator , ditambahkan sebagai biaya non-standard karena tidak ada harga standardnya. Demikian pula Infrastruktur luar Gedung termasuk pengurugan lahan, jalan/parkir, saluran, taman,pagar dan lain-lain ditambahkan lagi sebagai biaya Infrastruktur yang non-standard.
Dapat diduga mark-up anggaran dilakukan dengan tidak digunakannya lagi standard harga bangunan per-m2 dan anggaran untuk Instalasi Teknis Gedung dan Infrastruktur Luar Gedung yang non-standard dimark-up secara fantastik, karena tidak ada standard harganya dan sulit diperhitungkan secara tepat sebelumnya . Akhirnya biaya komponen non-standard ini bisa sama besar dari biaya Gedungnya sendiri bahkan lebih.
Demikianlah pola korupsi sekarang telah berubah, mark-up terjadi di hulu proses yaitu penentuan anggaran dengan aktor penentu di Legislatif yang sarat kepentingan politis dan interes pribadi, yang bekerjasama dengan Eksekutif dan difasilitasi oleh para calon Kontraktor sebagai “pengantin”nya.
Pola baru Hyper Korupsi Proyek ini baru dapat dihindari bila :
1.Dibebaskannya penyusunan anggaran APBN dari kepentingan politik partai, pimpinan partai harus berani melarang anggotanya untuk menjadikan anggaran APBN sebagai lahan untuk mencari dana buat partai ( atau diri sendiri). Berikan peran yang lebih besar pada Instansi Teknis (PU) atau Lembaga Profesi /orang-orang yang profesional dalam menentukan proses penyusunan anggaran pembangunan gedung Negara.
2.Dibuat kembali harga standard bangunan setiap tahun anggaran ditiap Kabupaten/
Kota seperti dulu sebelum Era Reformasi , harga tidak diambangkan begitu saja “sesuai harga pasar” . Perlu kerjasama antara Kementerian PU, Bappenas dan Kementrian Keuangan untuk menerbitkan kembali standard harga ini. Standard ini harus diberlakukan secara konsisten karena disinilah berawal upaya mark-up anggaran.
3.Anggaran Gedung dibuat 2 tahun, tahun pertama untuk membuat Dokumen Perencanaan Teknis lengkap dengan RAB yang detail. Besarnya anggaran gedung diusulkan berdasarkan RAB dari Konsultan Perencana ini. Baru kemudian pada tahun kedua dilakukan tender dan pelaksanaan konstruksi pembangunannya.
Nazaruddin telah menciptakan sebuah pola baru dalam perjalanan sejarah (“korupsi”) proyek di Indonesia dengan nilai prosentase yang fantastik . Komisi proyek bukan lagi sekedar bentuk rasa terima kasih dengan jumlah kecil tapi sudah menjadi korupsi dengan jumlah besar. Dari rasa terima kasih menjadi komitment yang menjerat, dari etika menjadi pidana, dari bisnis mejadi perampokan. NGONO YO NGONO NING OJO NGONO.
Alim Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H