Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Money

Mencegah Krisis Ekonomi di Negeri Ini

17 Maret 2025   19:42 Diperbarui: 18 Maret 2025   06:05 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Saat ini, perekonomian kita bisa dibilang tidak baik-baik saja. Memang, pertumbuhan ekonomi kita tetap di kisaran 5 persen, tapi pertumbuhan itu tidak berkualitas karena hanya terkonsentrasi di kalangan kelas kaya atau oligarki saja. Ini terkonfirmasi dari Indeks Kekuasaan Material (IKM), indeks yang mengukur kesenjangan antara kaum oligarki dan rakyat massa, yang menduduki peringkat pertama mengalahkan China (Kompas, 15/3/2025).

Sektor ekonomi riil pun mengesankan ada masalah. Secara indikator kasat mata, kita bisa melihat masih sepinya pusat perbelanjaan dan pusat grosir busana Lebaran ketika bulan Ramadan hanya tersisa sekitar dua minggu lagi sebagai fenomena mengkhawatirkan. Belum lagi rangkaian PHK yang sudah dan akan terjadi. Daya beli masyarakat juga melemah di tengah kenaikan harga bahan pokok. Kekhawatiran masyarakat adalah: apakah akan terjadi krisis ekonomi kembali di negeri ini?

Teori Krisis 

Guna menjawab pertanyaan itu, kita perlu mengetahui secara umum apa saja faktor-faktor yang menyebabkan krisis ekonomi. Menurut Radelet dan Sachs (dikutip dari Muhammad Handry Imansyah, Krisis Keuangan di Indonesia, Elex Media, 2009, hal. 12-15), ada empat faktor utama yang berkontribusi besar pada terjadinya krisis keuangan dan ekonomi: kebijakan ekonomi yang tidak konsisten, kepanikan di pasar uang atau finansial, pecahnya gelembung finansial, dan moral hazard alias maraknya pelanggaran hukum akibat lemahnya penegakan aturan. 

Dari keempat faktor tersebut, kita bisa melihat faktor pecahnya gelembung finansial tidak terlalu relevan. Sebab, faktor tersebut lebih tepat untuk menjelaskan krisis akibat spekulasi di sektor tertentu, seperti krisis ekonomi 2007-2008 di Amerika Serikat dan Eropa yang terjadi akibat gelembung besar investasi di sektor properti dan finansial (Risiko Rendah). Alhasil, kita tinggal melihat apakah ketiga faktor yang tersisa masih berisiko bagi Indonesia.

Pertama, kebijakan ekonomi yang tidak konsisten. Sayangnya, kita melihat faktor tersebut ada di Indonesia saat ini. Lihat saja, pemerintah sempat menaikkan PPN ke 12 % untuk kemudian membatalkannya, demikian juga penataan distribusi LPG 3 kilogram yang sempat memunculkan kelangkaan. Kemudian, pemerintah berbusa-busa ingin mengundang sebanyak mungkin investasi, tapi belum menunjukkan prestasi nyata memberantas praktik premanisme yang menimbulkan ekonomi biaya-tinggi (high-cost economy). Akibatnya, sebagian investasi asing pun mengurungkan niat mereka untuk berinvestasi di sini.

Belum lagi fenomena meruyaknya korupsi seperti korupsi Pertamina dan korupsi Minyakita di tengah retorika kampanye pemberantasan korupsi. Ini tentu memancarkan mixed signal yang membingungkan masyarakat serta bisa membuat mereka frustrasi.

Paling parah adalah kebijakan tergesa mengubah sistem pelaporan pajak menjadi CoreTax di saat masyarakat sudah nyaman dengan sistem pelaporan pajak e-filing yang lama. Ini membuat setoran pajak lebih rumit dan, dikombinasikan dengan melemahnya pendapatan masyarakat, terbukti membuat pemasukan pajak ke kas negara seret.    

Kebijakan lain yang tak konsisten adalah kabar pemerintah akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah terhajarnya daya beli masyarakat oleh pelemahan ekonomi akibat pandemi. Juga, kebijakan efisiensi anggaran yang dikontradiksikan dengan rapat perumusan undang-undang yang justru diadakan di hotel mewah. Inkonsistensi kebijakan seperti ini diharapkan jangan berlanjut terus-menerus demi menghindarkan kita dari potensi krisis ekonomi. Kalau tidak, risiko kita di faktor ini akan seperti sekarang: Risiko Tinggi.

Kedua, kepanikan di pasar uang atau finansial. Untungnya dari segi ini, Indonesia masih relatif bisa mencegah nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dari terpuruk dalam. Hanya saja, alarm kepanikan tetap ada karena nilai tukar rupiah masih keok di kisaran Rp 16.000.

Meroketnya harga emas belakangan ini adalah indikasi masyarakat lebih memilih menarik simpanannya di bank dan mengalihkannya ke aset aman (safe haven), seperti logam mulia. Hasilnya, harga emas kian melambung tinggi. Sehingga, ada juga yang kemudian menukarkan emasnya ke uang tunai di saat harga emas naik tersebut. Ini bisa dibaca sebagai fenomena bahwa ada sebagian masyarakat yang menukarkan simpanan logam mulianya dengan uang tunai (prinsip cash is king alias uang tunai adalah raja) demi keberlangsungan hidup sehari-hari. Sebab, kita tidak bisa menutup mata banyak orang saat ini sedang kehilangan pekerjaan atau pendapatannya turun secara signifikan. Artinya, ada Risiko Moderat di faktor ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun