Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Panorama Filsafat Ekonomi Negara dan Prestasi Sepak Bola

8 Februari 2025   17:34 Diperbarui: 8 Februari 2025   17:40 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Timnas Inggris merayakan momen menjuarai Piala Dunia 1966. Kala itu, Inggris dikuasai Partai Buruh yang sosialistis (Sumber: www.skysports.com)

Dari segi sepak bola, Indonesia merupakan salah satu negara dengan ironi. Bayangkan, dengan jumlah fans yang boleh dibilang
terbanyak di dunia, dunia sepak bola kita justru minim prestasi. Memang, penyebabnya multifaktor, mulai dari pembinaan, kompetisi lokal, hingga kepengurusan PSSI. Namun, ada satu faktor tambahan yang jarang diangkat. Yaitu, secara hipotetis ada relasi antara filsafat ekonomi satu negara dan kesuksesan tim nasional mereka, terutama di ajang Piala Dunia (PD).

Sosialistis

Misalnya, unik bahwa sejak kali pertama diadakan pada 1930 hingga 2022, juara Piala Dunia (PD) selalu datang dari negara yang secara dominan bercirikan sosialistis: Uruguay (1930 dan 1950), Brazil (1958, 1962, 1970, 1994, 2002), Inggris (1966, kala itu dikuasai Partai Buruh yang bercirikan sosialistis dengan Perdana Menteri Harold Wilson), Argentina (1978, 1986, 2022), Prancis (1998, 2018), Italia (1934, 1938, 1982, 2006), Jerman (1954, 1974, 1990, 2014), Spanyol (2010). Asal tahu saja, sosialisme adalah mazhab ekonomi yang mengutamakan peranan negara dalam ekonomi, menomorduakan pemilikan individu, mengutamakan aspek pemerataan ketimbang pertumbuhan, dan mementingkan pelayanan sosial ketimbang laba.

Memang, di dunia ini hampir tidak ada satu pun negara yang murni 100 persen kapitalistis atau sosialistis. Bahkan, China yang jelas-jelas berlabel komunis pun masih menerima investasi asing masuk dan menerapkan mekanisme pasar. Namun, tetap ada kecenderungan ke salah satu aliran ekonomi, entah dominan kapitalistis atau sosialistis.

Kembali ke relasi antara filsafat ekonomi satu negara dan prestasi sepak bolanya di Piala Dunia, tidak ada satu pun negara yang dominan berwatak kapitalistis, termasuk AS, mampu menjuarai PD. Hal ini tidaklah mengejutkan. Sebab, prinsip utama permainan sepakbola adalah semangat tim alias kolektivitas, yang persis sendi penting sosialisme. Ego pribadi pemain harus diredam demi permainan efektif peraih kemenangan.

Maka itu, individualisme ala sistem kapitalistis justru menumpulkan efektivitas permainan tim. Kreativitas pribadi memang diperlukan, tapi harus dikerahkan demi mencapai tujuan kesejahteraan (kemenangan tim), bukan kejayaan individu pemain. Dengan kata lain, semakin larut satu individu dalam jiwa korsa tim, kian hebat tim sepakbola itu.

Sebagai contoh, sosialisme Italia pada 1930-an diterjemahkan ke gaya klasik sepak bola Italia bersendikan operan pendek efektif, kolektivitas tinggi dan pertahanan solid (Seno Gumira Ajidarma, "Sepakbola dan Pembauran Gaya", Intisari, Juni 2010). Hasilnya, Italia sukses menjuarai PD 1938 di Prancis. Atau, sosialisme Katalunya di Barcelona yang melawan otoriter Spanyol di Madrid melahirkan sepak bola kolektif tiki-taka.

Jadi, Indonesia berpotensi memiliki timnas hebat mengingat kita memiliki sosialisme-religius sebagai filsafat ekonomi. Per definisi, sosialisme religius adalah mazhab ekonomi yang didasarkan pada semangat ketuhanan, persaudaraan, dan kesejahteraan.
Sjafruddin Prawiranegara pernah mengatakan bahwa kemakmuran merata bangsa Indonesia bukan hanya kemakmuran material, tapi juga kemakmuran nonmaterial, yang tercermin dalam nilai-nilai agama dan kepercayaan. (Dawam Rahardjo, Ekonomi Neo-klasik dan Sosialisme, Mizan, 2011).

Hanya saja, cita-cita sosialisme religius itu dicampakkan oleh para pemangku kebijakan negeri ini, yang justru membawa negeri ini ke filsafat ekonomi berhaluan liberal. Lihat saja, betapa kita sejak era Reformasi bermula sudah ramai 'menjual' aset negara strategis di bidang terkait kesejahteraan umum, seperti di bidang telekomunikasi, energi, perbankan, dan lain-lain. Padahal konstitusi kita di pasal 33 UUD 1945 ayat (2) tegas menyatakan "cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak (baca: sektor publik) dikuasai oleh Negara."

Parahnya lagi, negeri ini senang menghajar warganya dengan berbagai kenaikan harga yang ada dalam kendali Negara: tarif listrik, elpiji, bahan pokok, dan gas bersubsidi. Jadi, pemerintah seakan melupakan peran konstitusionalnya memelihara fakir miskin (pasal 34 UUD 1945) serta memenuhi hak asasi warga negara di berbagai bidang (Pasal 28A sampai 28I UUD 1945).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun