Di tengah maraknya produksi film Indonesia, ada satu fakta memprihatinkan. Yaitu, masih minimnya film dokumenter di negeri ini. Padahal, film dokumenter---genre film yang menyajikan fenomena nyata kepada penonton atau bahasa sederhananya film nonfiksi---sejatinya memegang peranan penting bagi perkembangan sosial-politik-ekonomi suatu bangsa.Â
Tanpa film dokumenter yang bagus, masyarakat tidak akan memiliki pemahaman mendalam terhadap suatu isu. Berbeda dengan berita di televisi, film dokumenter menyajikan satu fakta secara terfokus lewat satu perspektif yang sudah digariskan sutradara dan timnya.Â
Karena itu, film dokumenter hakikatnya adalah lawan debat atau teman bicara intelek bagi penonton tentang suatu isu. Sifatnya lebih memancing refleksi serius dari penonton menjurus dialogis, berbeda dengan berita televisi yang karakternya lebih monolog alias satu arah. Maka itu, fungsi utama film dokumenter adalah penyadaran, pengingatan (reminder), dan pencerahan terhadap satu isu.
Sebagai contoh, film dokumenter pemenang Oscar 2006 besutan mantan Wakil Presiden AS Al Gore, Inconvenient Truth, mampu membekaskan dampak nyata pada kesadaran masyarakat dunia tentang isu genting bernama pemanasan global (global warming). Inilah film yang pesannya mampu bergema di seantero bumi dan menggerakkan banyak masyarakat untuk mengadopsi gaya hidup lebih hijau (go green).
Masih dari Amerika, film dokumenter Sicko (2007) buah karya Michael Moore mampu menampar wajah Amerika bahwa betapa negeri yang mendaku sebagai bapak demokrasi ini justru tak berdaya memberikan perlindungan kesehatan memadai bagi warganya. Sebaliknya, sejak zaman Presiden Nixon, negara tampak tak berdaya di tangan dingin perusahaan asuransi yang hanya menjadikan isu kesehatan sebagai bisnis menguntungkan. Efeknya, tamparan ini menggugah Presiden Obama untuk menggolkan kebijakan asuransi kesehatan berskala luas, Medicare, bagi seluruh warga AS kala itu. Michael Moore sendiri merupakan sutradara langganan film dokumenter laris seperti Bowling for Columbine (2002) dan Fahrenheit 9/11 (2004).
Tak sebatas penyadaran, film dokumenter sangat berperan vital bagi suatu bangsa untuk merawat ingatan kolektifnya tentang suatu fenomena sejarah. Tersedia dalam pita seluloid, cakram, dan konten digital serta mengambil bentuk audio-visual, film memiliki daya jangkau dan tingkat keawetan media yang lebih tinggi ketimbang media cetak atau sastra tulis. Karena itu, film dokumenter adalah sarana paling efektif bagi satu bangsa untuk terus melawan lupa dan menimba ilmu terus-menerus dari sejarah.
Maka itu, televisi-televisi di negara-negara maju senantiasa memutar film-film dokumenter tentang peristiwa bersejarah atau biografi sosok pahlawan demi memberikan pendidikan watak (character building) dan mensosialisasikan budaya kewargaan (civic culture) kepada masyarakatnya.Â
Langkah konkretÂ
Namun di Indonesia fungsi luhur film dokumenter masihlah jauh panggang dari api. Lihat saja, betapa kesulitan kita jika ingin mencari film dokumenter tentang tokoh-tokoh bangsa semisal Soekarno, Sjahrir, Hatta, Soe Hok Gie, dan lain sebagainya. Juga, jika kita ingin mengetahui babakan-babakan penting sejarah Indonesia, seperti peristiwa Malari, pemberontakan PKI 1948, pemberontakan PRRI/Permesta, dan lain-lain.
Memang di kanal digital seperti YouTube sudah ada ditemukan sejumlah tayangan dokumenter, namun tetap saja secara kuantitas masih minim.
Selain itu, kita pun kesulitan menemukan film-film dokumenter yang mengangkat isu-isu aktual di sekitar kita. Akar permasalahannya adalah film dokumenter dianggap tidak menjual alias garing dan hanya membuat rugi kantung produsernya. Namun, ada sejumlah langkah mensiasatinya.