Saat ini, banyak masyarakat khawatir melihat sejumlah tanda pelemahan ekonomi di Indonesia, seperti turunnya daya beli, ancaman PHK, dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Wajar jika kita pun ikut bertanya: akankah kita memasuki 'krisis ekonomi keempat'? Pasalnya, sejauh ini kita sudah mengalami tiga krisis ekonomi. Pertama, krisis moneter 1997 - 1998 yang bermula dari merosotnya baht Thailand. Kedua, satu dasawarsa kemudian (2007 -- 2008) terjadi krisis subprime mortgage AS yang berdampak keras pada perekonomian kita. Ketiga, krisis akibat pandemi Covid-19 yang bermula pada 2020 dan dampaknya masih terasa hingga saat ini.Â
Karena itu, demi mencegah alarm tanda bahaya itu menjadi krisis keempat, kita lebih baik mempelajari perjalanan bangsa ini mengarungi tiga krisis ekonomi.
Perbedaan anatomi krisis
Banyak ekonom berpendapat krisis sejatinya adalah keniscayaan yang berperan sebagai momentum peringatan (wake-up call) bagi upaya mencapai keseimbangan baru (new equilibrium) dan perbaikan di masa depan. Hal ini menjadi lebih nyata kebenarannya jika kita menelisik betapa anatomi krisis dalam tiga dasawarsa belakangan ini memiliki perbedaan signifikan.
Pertama, krisis ekonomi Indonesia 1997 bisa dilacak akar penyebabnya pada sejumlah faktor. Saat itu, Indonesia memiliki rasio pembayaran utang (debt service ratio/DSR) yang tinggi sebagaimana dihitung dengan rumus cicilan utang per tahun/nilai ekspor x 100% (dalam Tony Prasetiantono, Rambu-Rambu yang Diabaikan, Penerbit Buku Kompas, 2005, hal. 5). Konsensus angka aman 20% untuk DSR terlampaui di tingkat 30%-40% kala itu akibat turunnya ekspor dan kegemaran mengekspor barang mentah ketimbang barang jadi. Belum lagi ditambah dengan nominal utang dalam bentuk valas yang juga tinggi. Pada titik ini, neraca transaksi berjalan (current acccount deficit) juga tekor. Pukulan lainnya kala itu adalah terjadinya pelarian modal (capital flight) yang diakibatkan oleh sistem politik yang otokratis, minimnya kepastian hukum, dan tanda-tanda akan goncangnya rezim penguasa. Apalagi saat itu ada sejumlah tempat lain yang menjanjikan imbal hasil atas investasi (return on investment/ROI) yang lebih menarik dibandingkan Indonesia.
Resep pemerintah di awal-awal krisis kemudian justru memperparah suasana. Kemunculan IMF dengan resep rasionalisasi khas neoliberal memaksa pemerintah menutup 16 bank yang menimbulkan gelombang penarikan uang (money rush). Penaikan sejumlah harga komoditas, termasuk bahan bakar minyak, malah melejitkan inflasi dan memukul daya beli. Puncaknya adalah salah satu obat yang sebetulnya bisa dari awal diberikan: reformasi politik berupa pengunduran diri Presiden Soeharto yang mengawali proses demokratisasi Indonesia, baik di bidang politik maupun ekonomi. Di bidang ekonomi, misalnya, reformasi yang segera dilakukan adalah membuat otoritas moneter (BI) menjadi independen dari pemerintah dan reformasi perbankan lewat program restrukturisasi yang digawangi BPPN.
Kedua, krisis 2007 -- 2008. Walaupun tidak sebesar 1997 -- 1998, 'krisis kecil' ini sempat memukul sejumlah indikator makro ekonomi, seperti misalnya IHSG yang terjerembab dari level 2.700-an ke 1.100-an. Kali ini, bukan faktor internal dalam bentuk instabilitas politik yang menjadi biang keladi, melainkan faktor eksternal berupa resesi ekonomi AS akibat kredit menggila di tengah booming ekonomi yang, pada gilirannya, menimbulkan penyimpangan moral atau moral hazard (A. Prasetyantoko, Bencana Finansial, Penerbit Buku Kompas, 2008, hal. 165). Dalam krisis kedua ini, daya serap AS terhadap produk-produk ekspor Indonesia menurun drastis, sehingga CAD kita ikut turun. Plus, dana di pasar modal kembali lari ke pasar-pasar yang tidak terpengaruh (decoupled) oleh fluktuasi ekonomi AS. Karena bukan terjadi akibat faktor internal, maka solusi krisis kala itu adalah pemerintah bersama otoritas moneter melakukan langkah-langkah ekstra hati-hati (prudent) dalam bentuk menalangi bank yang berpotensi bermasalah dan menimbulkan money rush, seperti Bank Century (kini Bank Mutiara).
Terlepas dari kontroversi seputar penyelamatan bank itu, terbukti perekonomian Indonesia berhasil mengarungi krisis 2007 -- 2008 dengan selamat.
Lantas bagaimana dengan anatomi 'krisis ketiga' pada 2020? Kembali ada perbedaan. Kali ini, merosotnya indikator makro ekonomi lebih banyak terjadi karena faktor eksternal ketimbang internal. Faktor eksternal adalah masuknya virus Covid-19 ke Indonesia, menandai fakta bahwa Indonesia tidak lepas dari cengkeraman pandemi. Sebelumnya, sempat ada keyakinan berlebih namun semu bahwa virus Covid-19 tidak akan masuk ke Indonesia karena Indonesia adalah negara tropis.
Pertumbuhan ekonomi lantas minus akibat pembatasan segala aktivitas dengan nama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Namun, pemerintah bertindak bijak karena tidak memberlakukan lockdown total yang berpotensi memicu kerusuhan sosial. Kemudian, pemerintah mampu bertindak tegas untuk 'memaksakan' vaksinasi lengkap dengan kewajiban hanya masyarakat bervaksin lengkap yang boleh memasuki tempat belanja. Berbagai bantuan sosial pun dikucurkan untuk memitigasi dampak ekonomi akibat pembatasan aktivitas ekonomi. Hanya sayangnya, masih ada saja moral hazard berupa oknum pejabat yang menggelapkan bantuan sosial atau oknum perusahaan swasta yang mengail untung dengan menimbun alat medis atau mematok harga mahal untuk tes PCR. Untungnya, sudah ada tindak penegakan hukum dilakukan terhadap para oknum tersebut  Â