Dari hari ke hari, kita bisa melihat betapa bumi kian mengalami kemunduran dari segi kualitas lingkungan. Monograf National Geographic tentang Cuaca Ekstrem (2012, KPG) sudah lama mengutarakan peringatan muram 13 tahun lalu. Semakin lama, ungkap monograf tersebut, cuaca berubah di seluruh dunia. Suhu udara naik, badai kian ganas, kekeringan semakin merusak, dan banjir menyebar lebih luas.Â
Semua bencana lingkungan dahsyat ini lantas dikatakan berhulu pada pemanasan global (global warming). Pemanasan global adalah perubahan iklim akibat konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Akibat kegiatan ekonomi industri berbasis penggunaan bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida. Emisi ini lantas bertumpuk di bumi menyerupai selubung. Kemudian, cahaya matahari menyinari bumi dan membuat bumi panas. Seharusnya, panas itu kembali ke udara supaya suhu bumi kembali normal. Namun, selubung emisi karbon dioksida tadi menahan pelepasan panas itu ke udara sehingga panas itu justru terpantul kembali ke bumi. Alhasil, suhu bumi pun meningkat, es di kedua kutub mencair, dan permukaan laut naik. Nah, peredaran arus laut inilah
yang mengakibatkan cuaca ekstrem.
Jadi, pemanasan global adalah proses berangsur-angsur akibat penggunaan bahan bakar fosil demi menggerakkan perekonomian industri. Artinya, perubahan iklim terjadi karena ulah manusia yang ingin memuaskan hasrat ekonominya secara tak terkendali. Hasrat ekonomi itulah yang mengejawantah dalam bentuk eksploitasi lingkungan seperti pembangunan industri besar-besaran.
Dampak buruk lain dari eksploitasi alam berlebihan adalah virus-virus ganas yang bermunculan, termasuk Corona atau Covid-19 yang baru saja kita lalui . Sugiyono Saputro (2020) menjelaskan bahwa virus Ebola, misalnya, bermula dari aktivitas penambangan kayu di Afrika yang mengganggu habitat kelelawar sehingga interaksi kelelawar dengan manusia semakin tinggi. Kemudian, perdagangan hewan liar memberi kita SARS saat kelelawan menginfeksi musang di pasar binatang liar hidup. Sementara itu,
penyebaran virus Covid-19 ditengarai terjadi karena penularan dari inang kelelawar santapan kepada manusia penyantap yang gemar mengudap makanan ekstrem.
Dari perspektif ini, kita bisa mengatakan bahwa segala kerusakan iklim dan bencana lingkungan terjadi karena mobilitas tinggi manusia dan penerapan ekonomi berkarbon tinggi bersendikan prinsip pasar bebas serakah, yang terutama dipraktikkan oleh negara-negara superpower ekonomi seperti AS, China, Rusia, dan lain sebagainya.
Ekofeminisme dan spirit yin perempuan
Masalahnya kini, bagaimana mengatasi kerusakan lingkungan? Dalam konteks inilah, satu etika lingkungan bernama ekofeminisme bisa menjadi bagian dari solusi. Sesuai namanya, ekofeminisme menyajikan satu perspektif etis tentang lingkungan (eco) dari sudut pandang perempuan (feminisme).Â
Selama ini, demikian menurut ekofeminisme, sikap etis manusia dalam mengolah lingkungan lebih didominasi oleh pandangan-dunia maskulin. Padahal, lelaki lebih identik dengan rasio atau akal, sementara perempuan lebih lekat dengan aspek emosi.
Konsekuensinya, merujuk Rene Descartes dalam Diskursus tentang Metode (Gramedia, 1995), manusia dianggap sebagai res cogitans (dia yang berpikir), sementara alam disebut sebagai res extensa (perluasan pemikiran manusia). Berpangkal dari rasionalisme ini, alam hanya hadir untuk melayani kepentingan manusia. Alhasil, ini menumbuhkan bibit kesombongan dalam diri manusia dalam kaitannya dengan lingkungan serta berujung pada eksploitasi membabi buta manusia terhadap berbagai sumber daya
hingga memantik krisis lingkungan besar di planet ini, termasuk pemanasan global dan cuaca ekstrem.
Dengan kata lain, semangat pandangan dunia maskulin-rasional adalah spirit dominasi, manipulasi, dan eksploitasi terhadap alam yang terlalu berpusat pada kepentingan sempit manusia. Di sisi lain, pandangan-dunia feminis-emosional yang mengejawantah dalam etika lingkungan ekofeminisme menjadi antitesis dari etika maskulin tersebut. Sebagai gantinya, ekofeminisme lebih mengedepankan spirit restorasi atau pemulihan alam.
Ringkasnya, mengutip Sonny Keraf dalam Etika Lingkungan (Penerbit Kompas, 2004), ekofeminisme memiliki tiga ciri utama. Pertama, etika ini mengkritik cara pikir hierarkis yang menempatkan status lebih tinggi pada manusia karena akalnya. Kedua, ekofeminisme mengkritik dualisme nilai antara manusia dan alam yang menempatkan manusia lebih tinggi dibandingkan alam.
Ketiga, ia mengkritik logika dominasi sebagai cara berpikir yang cenderung membenarkan dominasi manusia atas alam.