Indonesia yang terkenal sebagai negara religius dengan budaya yang kaya pastilah penuh dengan berbagai kearifan berbasiskan agama atau kearifan lokal (local wisdoms). Misalnya saja, di banyak forum beredar sikap-sikap religius, ragam doa, dan aneka resep ramuan herbal seperti resep jamu tradisional yang dikabarkan bisa menjadi bagian ikhtiar untuk menghalau berbagai penyakit, seperti asma, kanker, dan lain sebagainya.Â
Sayangnya, ada sebagian kalangan ilmuwan atau kaum skeptis yang belum-belum menepis tawaran solusi semacam itu. Argumen umum mereka, contohnya ketika "menolak" resep ramuan herbal, adalah bahwa resep-resep semacam itu belum melewati uji klinis, belum terbukti secara ilmiah atau saintifik, bagian dari propaganda kaum ekstremis agama, dan lain sebagainya.
 Padahal, sikap sains seperti itu sangatlah berbahaya. Bahkan, menurut Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla dalam Sains Religius, Agama Saintifik (Mizan, 2020), pendirian seperti itu bisa membuat penganutnya tergolong sebagai "ekstremis sains." Inilah kaum pemuja sains yang menafikan filsafat dan membodoh-bodohkan pemikiran agama. Bagi mereka, metodologi sains lebih baik daripada filsafat atau agama.Â
Prinsip Apa Saja Boleh
Sebenarnya, jika merujuk filsuf anti-metode Paul Feyerabend, sains yang terlalu mendewakan metode verifikasi maupun falsifikasi punya kelemahan mendasar: keduanya sama-sama tidak menghendaki fakta yang tidak konsisten dengan teori. Untuk mengatasi itu, Feyerabend kemudian mengajukan metode kontra-induksi. Ada tiga cara kerja dari metode ini, yaitu melakukan kritik terhadap "fakta", mengacaukan prinsip-prinsip teoretis yang paling masuk akal, dan memperkenalkan persepsi yang bukan merupakan bagian dari dunia persepsi yang ada (lihat  Akhyar Yusuf Lubis, Paul Feyerabend, Teraju, 2003).Â
Berbekal ketiga cara kerja ini, terutama yang ketiga, Feyerabend lantas mengajukan prinsip metodologis apa saja boleh (anything goes). Prinsip ini disebut juga sebagai pluralisme metodologis atau anarkisme epistemologis. Maksudnya, setiap ilmuwan secara bebas dapat mengikuti pilihan paradigma, aturan permainan, bahasa, maupun kecenderungan tertentu sebagai usaha kritis ilmiah.
Berangkat dari pendapat Feyerabend di atas, kaum ilmuwan yang terlalu mengagungkan prinsip rasionalisme, verifikasi, dan falsifikasi, seharusnya menyadari ada bahasa ilmiah lain dalam domain yang berbeda, salah satunya bahasa agama.Â
Filsuf Jerman, Ludwig Wittgenstein di tempat lain menyebut ini sebagai permainan bahasa atau language games yang berbeda (lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Kontemporer Kontemporer I, Gramedia, 2014). Alhasil, bahasa agama dan tradisi sejatinya memiliki logika ilmiah dan kebenarannya sendiri, yang tentu tidak kalah kedudukannya dibandingkan logika sains. Â
 Karena itu, kaum ilmuwan yang mengaku sebagai pewaris utama rasionalitas warisan zaman Pencerahan harusnya mengutamakan pula sikap demokratis, kesetaraan, dan rendah hati (humility) yang diajarkan zaman yang sama. Artinya, kaum ilmuwan mesti membuka diri terhadap kemungkinan adanya solusi dan kebenaran lain di luar bahasa mereka. Apabila bisa bersikap takzim dan merangkul perbedaan seperti itu, mereka justru bisa mendapatkan sumbangan luar biasa untuk bidang mereka sendiri.Â
Ambil contoh saja teori penyatuan mahaagung (grand unification theory) yang mengantarkan fisikawan Muslim Abdussalam meraih Nobel Fisika 1979 bersama-sama Sheldon Lee Glashow dan Steven Weinberg. Terilhami oleh prinsip tauhid dalam Islam, Abdussalam berhasil merintis teori yang mampu menyatukan lima gaya dasar di alam semesta, yaitu gaya listrik, gaya magnet, gaya kuat, gaya gravitasi, dan gaya lemah (lihat fisikanet.lipi.go.id, diakses pada 2 Juli 2021, pukul 16:50). Inilah bukti kuat bahwa bahasa agama justru sangat mampu memberikan sumbangan ilham bagi tercapainya terobosan di bidang sains, yaitu ilmu fisika. Feyerabend pun terbukti benar dalam prinsip apa saja boleh-nya.