Saat ini, penyakit respirasi (pernapasan) di dunia sudah menjadi ancaman serius yang masuk ke salah satu daftar lima penyakit teratas yang melanda manusia. Di Indonesia saja, data BPJS Kesehatan menunjukkan bahwa selama periode 2018-2022, anggaran yang ditanggung untuk penyakit respirasi mencapai angka signifikan dan meningkat tiap tahunnya. Pneumonia menelan biaya sebesar Rp8,7 triliun, tuberkulosis (TBC) Rp5,2 triliun, Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) Rp1,8 triliun, asma Rp1,4 triliun, dan kanker paru Rp766 miliar.
Angka-angka ini tentu akan bertambah seiring penurunan kualitas udara akibat perburukan polusi. Pidato pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof. Agus Dwi Susanto SpP(K) pada 11 Februari 2023 bahkan mengingatkan bahwa polusi udara yang semakin parah saat ini bisa memicu berbagai penyakit paru
Namun sayangnya dalam dunia penyakit pernapasan, masyarakat lebih mengenal penyakit bronkitis, asma, tuberkulosis (TBC), dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Padahal, ada satu penyakit paru kronis lain yang kurang dikenal meskipun punya derajat morbiditas tinggi dan kerap membebani penderitanya dengan masalah biaya dan kehilangan produktivitas, yaitu penyakit bronkiektasis (BE). Saking kurang dikenalnya dan kurang mendapat perhatian dari komunitas medis maupun masyarakat luas, BE disebut sebagai penyakit yatim (orphan disease).
Maka itu, organisasi kesehatan paru seluruh dunia pada 2022 sepakat mencanangkan 1 Juli sebagai Hari Bronkiektasis Dunia guna merintis perhatian lebih luas kepada penyakit ini. Saya sendiri termasuk yang ikut memperingati momen ini karena sudah mengidap BE sejak 2014.
BE sendiri menurut Perhimpunan Dokter Paru Seluruh Indonesia (PDPI) adalah “kondisik etika saluran bronkus yang terdapat di dalam paru-paru mengalami kerusakan, penebalan, atau pelebaran permanen dan dapat terjadi pada lebih dari satu cabang bronkus” (klikpdpi.com). Akibatnya, lendir menumpuk di saluran pernapasan dan sulit dikeluarkan, sehingga bisa memicu infeksi bakteri yang memperburuk kerusakan bronkus.
Penyakit ini secara umum tidak bisa disembuhkan (irreversible), melainkan hanya dapat ditatalaksana guna mencegah seringnya kekambuhan (eksaserbasi). Sebagai penderita BE, saya sendiri mendapati kondisi tubuh sulit kembali bugar seperti sebelum menderita BE. Ini beralasan karena sifat kerusakan bronkus yang permanen dan progresif. Sesak napas, badan mudah letih, batuk berdahak setiap hari, kekerapan batuk berdarah (hemoptisis), dan infeksi berulang adalah keluhan yang jamak terjadi
Saya juga menjadi saksi betapa masyarakat, termasuk komunitas medis sendiri, masih kurang mengenal dan memberikan perhatian pada penyakit BE. Setidaknya ada dua pengalaman yang menguatkan kesaksian penulis.
Pertama, tidak semua tenaga medis, termasuk dokter, akrab dengan BE. Bisa jadi ini karena manifestasi klinis BE yang menyerupai penyakit paru lain seperti TBC, asma, dan bronkitis: sesak napas, batuk berdarah, batuk berdahak kental, dan lain sebagainya. Kadang, gambaran rontgen paru penderita BE terlihat normal. Saya sendiri awalnya hanya disangka mengidap bronkitis.
Padahal, ketidaktepatan diagnosa ini bisa berakibat kurang baik bagi pasien. Misalnya saja, sesama penderita BE menceritakan di kanal YouTubenya bahwa dia pernah didiagnosa TBC sehingga diberikan paket obat anti TBC (OAT). Sekali diminum, paket obat ini harus diteruskan selama enam bulan. Naasnya, hasil kultur dahak menunjukkan dia tidak memiliki bakteri TBC di tubuhnya. Namun, karena OAT sudah terlanjur diminum, dia pun disarankan melanjutkan paket obat itu sampai habis, terlepas dari kenyataan bahwa paket obat itu dapat—meski tidak selalu—menimbulkan efek samping bagi organ tubuh, seperti lambung, ginjal, liver, dan lain. Artinya, ketidaktepatan diagnosis merugikan pasien dari segi biaya berobat maupun potensi efek samping.
Kedua, banyak fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL) di Rumah Sakit Kelas C maupun B yang kadang tidak meng-cover tindakan maupun terapi medis yang diperlukan bagi penderita BE, seperti: CT-scan, analisa kultur sputum (dahak) untuk memeriksa kemungkinan infeksi bakteri maupun jamur penyebab infeksi (pathogen), bronkoskopi, obat antibiotik dan antijamur, obat anti sesak napas leukotrient reseptor antagonist, fisioterapi, dan lain sebagainya, pun jika alat dan obatnya tersedia di sana. Akhirnya, banyak pasien harus dirujuk ke Rumah Sakit Kelas A, yang secara umum memiliki antrean pasien jauh lebih banyak dan lokasi yang lebih jauh. Akhirnya, ini kembali memakan waktu, tenaga, maupun biaya bagi pasien dan caregiver pasien.