Â
Isu lingkungan sudah tidak bisa dibantah lagi kegentingannya. Kian maraknya bencana alam, pemanasan global, krisis air bersih, menipisnya cadangan energi, dan lain sebagainya adalah masalah-masalah lingkungan yang semakin membahayakan keberlangsungan hidup umat manusia. Â
Karena itu, umat manusia perlu menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bisa mengatasi krisis lingkungan. Mengingat kebijakan itu digodok di cabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif, maka harus ada partai-partai politik (parpol) yang mewakili kepentingan lingkungan alias parpol hijau demi melahirkan kebijakan yang "ekokratis" alias memperhatikan lingkungan.
Sayangnya di Indonesia, kesadaran "ekokratis". Parpol-parpol kita masih jarang mengangkat isu lingkungan. Mereka selalu mengedepankan isu ekonomi dan kesejahteraan sebagai "dagangan" utamanya untuk meraih posisi elektoral. Memang, isu ekonomi penting, tapi isu lingkungan jauh lebih krusial. Sebab, jika lingkungan rusak, kita tak akan punya planet lain untuk didiami. Namun, tetap saja isu lingkungan masih dianggap "barang mewah" ketimbang isu-isu harga bahan pokok, subsidi energi, dan lain sebagainya.
Teori Gerakan Sosial
Padahal, parpol hijau diperlukan jika kita mau mengubah situasi lingkungan kita secara drastis. Pasalnya, keberadaan parpol hijau tergolong pada apa yang disebut David Aberle sebagai Gerakan Sosial Transformatif (transformative social movement). Menurut Aberle (disarikan oleh Iwan Gardono Sujatmiko dalam pengantar untuk buku Gerakan Sosial, LP3ES, 2006), ada empat tipe gerakan sosial berdasarkan "besarnya perubahan sosial yang dikehendaki (skala sebagian atau menyeluruh)" dan "tipe perubahan yang dikehendaki (perubahan perorangan atau sosial)".
Pertama, alternative movement yang berupaya untuk mengubah sebagian perilaku orang, seperti tidak merokok. Kedua, redemptive movement mencoba mengubah perilaku perorangan secara menyeluruh, seperti dalam bidang keagamaan. Ketiga, reformative movement yang ingin mengubah masyarakat namun dalam lingkup terbatas, seperti gerakan persamaan hak kaum perempuan. Keempat, transformative movement yang mau mengubah masyarakat secara menyeluruh seperti revolusi kemerdekaan 1945 atau Partai Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir yang sempat meraih kekuasaan dalam diri Presiden Mursi seiring Arab Spring. Gerakan keempat ini identik dengan gerakan politik secara institusional karena bisa merambah semua sektor lain seperti budaya dan ekonomi. Di sisi lain, gerakan ketiga identik dengan gerakan di level civil society karena skala perubahannya yang terbatas.
Dari keempat gerakan sosial di atas, tatkala dikaitkan dengan urgensi mengubah krisis lingkungan, maka gerakan tipe alternative maupun redemptive tidaklah akan efektif karena keduanya hanya ingin mengubah perilaku perorangan. Sementara, isu lingkungan membutuhkan perubahan masyarakat dalam skala luas. Karena itu, hanya gerakan transformative yang cocok untuk membekaskan perubahan signifikan terhadap krisis lingkungan.
Maka itu, penerapan politik ekokratis dalam bentuk parpol hijau menjadi keniscayaan  sosiologis. Negara-negara maju tampaknya memahami hal ini karena banyak parpol di negara-negara tersebut sudah menerapkan "politik ekokratis " yang mengampanyekan agenda perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Maka itu, sudah saatnya Indonesia memiliki parpol-parpol hijau. Lagi pula secara politik, parpol hijau punya prospek elektoral cerah. Sebab, merujuk John Muhammad dan Khalisah Khalid ("Politik Hijau"dalam Merancang Arah Baru Demokrasi, KPG, 2014)), "Politik Hijau" bersifat non-divisif, yang artinya politik ini mampu menyatukan semua pihak dalam satu kepentingan universal: melestarikan Bumi dan melanggengkan masa depan. Â Jadi, politik ini bersih dari benih prasangka apa pun dan sanggup melintas bebas untuk merangkul jenis ideologi apa pun. Artinya, parpol yang mengangkat "Politik Hijau" justru akan memperlebar basis pemilihnya.