Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Koalisi Gemuk Memang Berisiko Membuat Demokrasi Terpuruk

3 Februari 2025   12:59 Diperbarui: 3 Februari 2025   09:50 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Prabowo berfoto bersama sebagian menteri Kabinet Merah Putih (www.detik.com)

Salah satu kritik masyarakat di awal terhadap pemerintahan Prabowo - Gibran adalah koalisi gemuknya di Kabinet Merah Putih yang berkomposisikan lebih dari 100 orang. Pasalnya, itu akan memboroskan anggaran serta menyulitkan koordinasi dan kerja efektif. Terbukti, baru 100 hari kepemimpinan Prabowo sudah ada polemik terkait utusan khusus Gus Miftah, yang berujung pada pengunduran diri beliau. Juga, ada kasus mobil berpatwal yang sudah diakui oleh sang empunya sebagai milik utusan khusus lain, Raffi Ahmad. 

Namun, lebih dari sekadar soal kerja efektif, koalisi gemuk punya bahaya berupa risiko membuat demokrasi kita terpuruk. Memang, pemerintah Prabowo -- Gibran tampaknya membentuk koalisi gemuk demi mengamankan posisi eksekutif dari potensi 'goyangan' pihak oposisi formal di parlemen. Logikanya, jika nyaris semua partai anggota koalisi sudah mendapatkan 'jatah' kursi di kabinet atau jabatan publik lain, mereka diharapkan akan solid di belakang pemerintah untuk mendukung segala kebijakan pemerintah. Artinya, tidak akan ada suara oposisi yang berarti.

Padahal, salah satu esensi demokrasi adalah kuatnya oposisi formal di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Oposisi dalam demokrasi harus diposisikan sebagai seteru (adversary) ketimbang musuh (enemy). Musuh harus dikalahkan, sementara seteru adalah lawan bicara yang mengasyikkan karena memperkaya kita dengan sudut pandang yang berbeda. 

Selain itu, oposisi di DPR adalah bagian dari mekanisme checks-and-balances antara Negara yang memiliki kekuasaan begitu besar dan warga sipil yang terutama diwakili parlemen. Pun jika kebijakan pemerintah baik, tetap harus ada suara oposisi guna membuat kebijakan itu lebih sempurna. Itulah sebabnya dalam demokrasi ada istilah oposisi yang setia mengkritik (loyal opposition). Alhasil, politik harus bisa merayakan perbedaan pendapat dari oposisi yang justru akan memperkaya perspektif dalam proses perumusan kebijakan publik.

Namun, keberadaan koalisi besar beserta kebutuhan gula-gula politik yang menyertainya hampir dipastikan akan menumpulkan oposisi. Mengacu pada Arendt Lijphard dalam Pattern of Democracy (1999), ada tiga kemungkinan koalisi pemerintahan. Pertama, koalisi kekecilan (undersized). Ini adalah koalisi yang tidak mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen dan selalu diganggu oleh oposisi. 

Kedua, koalisi gemuk (oversized). Ini adalah koalisi yang terlalu ingin merangkul semua pihak untuk mendukung pemerintahan. Efek negatifnya adalah terlalu banyak pihak yang meminta "konsesi" dan kian banyak perbedaan visi yang justru menghasilkan koalisi rapuh.

Ketiga, koalisi pas-terbatas (minimal winning-coalition). Ini adalah koalisi yang membentuk dukungan pas-terbatas di parlemen. Jumlah partai yang berkoalisi dibatasi sekadar untuk mencapai dukungan mayoritas terbatas. 

Dari ketiga teori di atas, koalisi pas-terbataslah yang paling ideal untuk menciptakan relasi pemerintah dan oposisi yang sehat. Sebab, koalisi ini menjamin dukungan politik di parlemen guna mengamankan kebijakan pemerintahan, tidak melibatkan begitu banyak pihak untuk diakomodasi kepentingannya, dan masih menyisakan cukup ruang gerak bagi oposisi. Alhasil, dalam koalisi pas-terbatas, presiden bisa memperbanyak jumlah kabinet dari kalangan profesional.

Sayangnya, sekali lagi, pemerintah Prabowo -- Gibran nampaknya telah terpikat pada daya tarik koalisi gemuk atas nama kestabilan demi memuluskan segala kebijakan pemerintah. Apalagi mungkin pemerintah Prabowo -- Gibran menyadari ada sejumlah program yang potensial memicu guncangan dan menjadi sasaran empuk bagi kritik, seperti kebijakan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN), menerapkan makan bergizi gratis (MBG), dan melanjutkan proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Jika oposisi formal di parlemen senyap, pemerintah barangkali akan merasa sedikit lebih tenang untuk bekerja.

Demokrasi Terpuruk

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun