Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hikmah Khutbah Wada' Untuk Dunia Modern Kita

2 Februari 2025   09:54 Diperbarui: 2 Februari 2025   09:54 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam sejarah hidup nabi Muhammad SAW, Rasulullah hanya pernah menjalankan ibadah haji satu kali saja semasa hidup beliau. Pada waktu menjalankan ibadah hajinya itu, ketika hendak wukuf di tepi lembah Arafah yang dikenal dengan daerah Uranah, Rasulullah dan rombongan berhenti sejenak. Saat itulah Rasulullah menyampaikan khutbah untuk para jamaah haji yang dikenal dengan khutbah wada'. Dalam khotbah ringkas namun sangat berbobot itu, Rasulullah menyampaikan setidaknya enam isu penting, yaitu (1) tinggalkan ajaran jahiliah, (2) berpegang teguh pada Kitabullah, (3) tinggalkan riba, (4) hentikan kekerasan dan pertumpahan darah, (5) hormati dan santuni wanita, dan (6) tegakkan kejujuran (Suprio Guntoro, Spirit Haji, Quanta, 2013).

Apabila kita telaah keenam tema khotbah Rasulullah di atas, sungguh relevan semua itu bagi isu-isu penting dunia saat ini. Pertama, manusia modern kini sedang dihinggapi penyakit gila materi dan status yang bisa disebut sebagai sikap hedonis alias gila kenikmatan dunia. Alhasil, manusia modern menjadi manusia egois yang individualis, miskin empati, serakah, dan abai terhadap kaidah-kaidah moralitas. 

Terjadilah krisis akhlak luar biasa yang berujung pada merajalelanya berbagai kerusakan moral luar biasa, seperti maraknya pornografi, merajalelanya narkoba, kegiatan pamer harta (flexing) tanpa peduli apakah harta itu didapatkan secara halal atau tidak, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya tema meninggalkan perilaku jahiliah menjadi penting.

Kedua, sikap materialis-hedonis manusia menimbulkan kesan seolah-olah mereka akan hidup selama-lamanya di dunia ini. Sifat sombong ini membuat mereka kian abai terhadap keberadaan Tuhan, termasuk ajaran-ajaran agama. Manusia merasa bisa menemukan nilai-nilainya sendiri ketika bergulat mengeksploitasi dunia dalam konteks sejarah yang khas. Artinya, manusia ingin menggunakan nilai-nilai etisnya sendiri ketika berkecimpung di dalam ranah publik. Terjadilah kemudian pemisahan antara nilai agama sebagai keyakinan pribadi (private domain) dan nilai publik yang dirumuskan sendiri oleh manusia (public domain). Pemisahan inilah yang kita kenal sebagai sekularisme. Pesan berpegang pada Kitabullah pun tercampakkan.

Ketiga, pesan meninggalkan riba sejatinya adalah pesan untuk menjauh dari kapitalisme. Sebab, sendi kapitalisme persis terletak pada praktik ribawi yang mengambil keuntungan secara serakah dari alam maupun tenaga kerja sesama manusia dengan cara eksploitatif. Padahal, praktik ribawi kapitalisme inilah yang melahirkan kerusakan lingkungan dan kesenjangan sosial luar biasa yang lantas melahirkan kemiskinan beserta kelaparan yang justru kian parah saat ini.

Keempat, pesan Rasulullah untuk menghentikan kekerasan adalah penegas betapa Islam merupakan agama penebar perdamaian. Artinya, Islam mengajarkan toleransi dan sikap antikekerasan dalam menghadapi perbedaan. Jika diamalkan, keindahan pesan ini tentu akan secara signifikan mengurangi konflik horisontal yang sering terjadi belakangan ini.

Kelima, sabda Nabi Muhammad untuk menghormati wanita sekaligus membantah serangan banyak musuh Islam bahwa Islam merupakan agama misogynis (merendahkan wanita). Pesan ini justru menyentakkan kita bahwa jauh sebelum Deklarasi Universal HAM PBB 1948 dan lama sebelum munculnya pemikiran feminisme, Islam sudah menyerukan pentingnya hak asasi bagi kaum wanita.

Keenam, suruhan untuk menegakkan kejujuran menggarisbawahi pentingnya integritas dan semangat antikorupsi. Bertali-temali dengan pesan-pesan sebelumnya, kita lihat secara logis sikap hedonis-materialistis, pencampakan nilai-nilai agama, dan keserakahan meraup riba akan membuat manusia rela menghalalkan segala cara guna memuaskan hawa nafsu hedonisnya yang tak berujung. Di sinilah kemudian bermula praktik lancung bernama korupsi lengkap dengan beraneka modusnya sebagaimana sering kita saksikan saat ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun