Terus terang saya orang yang gagap teknologi alias gaptek. Saya tidak punya media sosial kecuali Whatsapp untuk bertukar kabar dan pesan dan Twitter, itu pun tidak aktif. Instagram, Facebook, apalagi TikTok saya tidak tertarik sama sekali untuk memainkannya. Walaupun akhirnya saya membuat Instagram juga karena menjadi salah satu syarat mengikuti lomba menulis di Kompasiana.
Tapi pada suatu waktu di tukang buku loak langganan, saya menemukan buku karangan Pepih Nugraha terbitan lawas berjudul Etalase Warga Biasa (Gramedia, 2013). Isinya tentang suatu platform sosial ala blog bernama Kompasiana. Uraian Pepih yang bernas tentang perjuangannya membesarkan Kompasiana memikat saya sebagai pembaca. Apalagi ketika mengetahui bahwa Kompasiana itu (saat 2013 kang Pepih menulis buku tersebut) sudah terbuka untuk semua penulis, tidak hanya penulis tamu atau wartawan Kompas saja.
Siapa sangka buku lama itu mengantarkan saya pada Kompasiana (hehehe, mungkin Anda berpikiran, ke mana aja nih orang?). Tanpa pikir panjang, saya pun langsung mengikuti segala proses pendaftaran untuk bisa mulai menulis di Kompasiana. Itu sekitar 31 Desember 2024, ketika saya gabut di rumah bersama istri dan anak-anak karena memang bukan tradisi kami bepergian menyambut tahun baru. Tak disangka, karena saya biasa membeli buku di Kompas.id, ternyata saya sudah punya akun Kompasiana sejak 2023. Itulah sebabnya di profil saya mungkin tercatat saya bergabung di Kompasiana sejak 2023.
Setelah urusan pendaftaran beres, saya langsung punya akun Kompasiana dan siap menulis. Akan tetapi, karena ada urusan harus berkunjung ke sanak saudara pada tanggal 1 dan 2 Januari 2025, saya baru bisa mengunggah tulisan perdana pada 3 Januari 2025 berjudul "Pandangan Dunia Jawa dan Presiden Kita."
Soal stok tulisan, alhamdulillah saya tidak kekurangan. Sebab, saya kebetulan punya hobi menulis kolom opini dan bersyukur bahwa semua media massa nasional besar pernah memuat tulisan opini saya, seperti Kompas, Republika, Media Indonesia, Koran Tempo, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Suara Karya, Kontan, Bisnis Indonesia, Investor Daily, Jawa Pos, Harian Bola, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, dan lain sebagainya. Sebagai informasi, untuk setiap kolom opini yang dimuat, pastilah ada puluhan artikel dengan berbagai tema yang ditolak atau dibiarkan saja berlalu tanpa kabar dari redaktur opininya bahwa artikel tidak layak terbit. Kumpul punya kumpul, saya punya ratusan stok tulisan yang tak termuat di media. Saya tinggal menyesuaikan kalimat lead dengan situasi terkini, maka artikel pun siap diunggah.
Awalnya, saya hanya ingin berbagi sedikit pengetahuan dalam tulisan saya, barang kali saja ada yang bisa memetik manfaatnya. Motivasinya adalah karena saya tidak lagi begitu bergairah menulis di koran yang kurang mendapatkan feedback dari pembaca. Apalagi kadang ada sejumlah koran yang tidak lagi memberikan honor bagi penulisnya. Maka itu, mending saya bagikan tulisan saya saja di Kompasiana sebagai seorang Kompasianer.
Lambat laun, saya baru tahu bahwa Kompasiana juga memiliki elemen kurasi dengan kriteria Artikel Pilihan (highight) dan Artikel Utama (headline). Karena pengetahuan itulah, saya jadi kian bersemangat menulis karena ada tujuan yang dikejar: tidak sekadar membagikan tulisan, tapi memberikan tulisan yang berkualitas supaya layak terkurasi Pilihan atau sukur-sukur Artikel Utama. Saya pun berdecak kagum saat mengetahui fakta pengkurasian ini, "ternyata Kompasiana benar-benar beyond blogging sesuai slogannya."
Tanpa terasa satu bulan berlalu sudah (dengan asumsi satu bulan itu 30 hari) sejak tanggal perdana saya mengunggah artikel pada 3 Januari 2025. Dalam satu bulan itu, saya sudah menulis 241 artikel (dengan artikel ini), di mana terdapat 2 artikel utama dan 109 artikel pilihan. Dalam satu bulan itu juga, saya melintasi lini status Kompasianer dari Debutan menjadi Taruna saat ini.
Saya bersyukur ternyata ekosistem Kompasiana relatif bersahabat dan tidak toksik, justru saling mendukung baik secara apresiasi maupun kritis. Bahkan, banyak Kompasianer centang biru yang memberikan penyemangat, entah itu sekadar rating atau komentar, yang semuanya itu tentu saya hargai dari lubuk hati yang paling dalam dan menunjukkan kerendahhatian mereka. Jika saya ringkaskan, pengalaman satu bulan menjadi Kompasianer ini merupakan pengalaman yang berharga, dan bahkan menggenapi, dalam perjalanan saya sebagai penulis.
Semoga bulan-bulan mendatang tetap bisa saya isi dengan artikel-artikel yang harapannya bisa sedikit bermanfaat bagi siapa pun yang membacanya. Terhatur terima kasih kepada para admin Kompasiana, para pembaca, dan rekan-rekan Kompasianer yang sudah sangat suportif selama ini. Semoga Tuhan senantiasa memberi kita keselamatan, kesehatan, kesuksesan, dan keberkahan hidup.