Kita di Indonesia pasti familiar dengan fenomena kesurupan (trance). Bahkan, kita sering memirsa berita tentang adanya kesurupan massal di sejumlah tempat. Sebagai bangsa Timur yang berwatak spiritual, kita kerap menisbatkan fenomena itu dengan penjelasan supranatural bahwa itu akibat kekuatan gaib. Tentu analisa berdasarkan keyakinan itu tidak ada salahnya. Namun, sebagai pembanding, ada juga fenomena kesurupan yang bisa dijelaskan secara ilmiah, terutama dari disiplin ilmu medis dan psikologi. Itulah fenomena choreomania alias Wabah Menari yang mencengkeram kota Strasbourg di abad pertengahan, yaitu tahun 1518.Â
Adalah pakar sejarah kedokteran John Waller yang meneliti Wabah Menari ini dalam bukunya A Time To Dance, A Time to Die (terjemahan Elex Media, 2011). Epidemi ini sendiri berawal pada Juli 1518 ketika ratusan pria dan wanita menari gila-gilaan, hari demi hari, di musim panas paling menyiksa. Mereka tidak bisa berhenti menari kendati kaki mereka sudah berdarah-darah dan sekujur badan mereka kelelahan. Sepanjang bulan Agustus dan awal September 1518, makin banyak penduduk yang terjangkit wabah ini. Akhirnya, saat epidemi ini mereda sekitar bulan September, korban nyawa yang berjatuhan sudah mencapai  ribuan orang.
Apa yang menyebabkan wabah semacam kesurupan atau, dalam bahasa Waller, trance ini? Ternyata, Waller menemukan dua penjelasan ilmiah yang baru bisa dimunculkan sekarang ini karena kemajuan ilmu kedokteran dan psikologi.
Pertama, kesurupan, termasuk wabah menari, merupakan apa yang dalam ilmu psikologi maupun psikiatri disebut sebagai "gangguan konversi". Inilah jenis gangguan di mana tekanan psikologis hebat dapat dikonversi menjadi wujud somatik berupa gerakan-gerakan spontan dalam tubuh.  Perlu diketahui bahwa Eropa abad ke-16 banyak diwarnai oleh gagal panen dan kesulitan ekonomi, yang keduanya ini tentu berisiko menimbulkan tekanan psikologis.Â
Waller memberikan contoh kontemporer bahwa di masa sekarang ini, ada beberapa pekerja di Singapura dan Malaysia yang mengalami kesurupan setelah didapati mereka merasa tidak tahan terhadap perlakuan kejam atasan mereka yang otoriter di pabrik.
Adapun secara medis, tekanan psikologis hebat berpotensi menurunkan nilai analisis kritis, melemahkan pengendalian realitas dan pemikiran rasional, menguatkan pengaruh sugesti terhadap rangsangan internal atau eksternal, dan meningkatkan ambang batas tertinggi ketahanan terhadap rasa sakit. Hal terakhir inilah yang menjelaskan mengapa para penduduk Strasbourg yang terjangkit choreomania atau wabah menari ini kuat berdansa selama berhari-hari.
Kedua, secara medis dan ilmu gizi, Waller menemukan juga bahwa malnutrisi bisa menyebabkan kesurupan atau trance. Pasalnya, diet atau pola makan rendah mineral yang lazim di Eropa kala itu dapat mengganggu produksi neurotransmitter serotonin sehingga berpotensi menyebabkan kondisi psikologis abnormal. Pada gilirannya, kondisi psikologis semacam itu membuat penderita rentan terhadap sugesti yang berujung pada kesurupan. Sugesti sendiri bisa berupa ketakutan terhadap kekuatan spiritual, ritual agama, atau ritual budaya.
Akhir kata, kita memang tidak perlu menafikan terkadang ada penjelasan spiritual-kebatinan bagi fenomena kesurupan. Akan tetapi, kita juga tidak perlu memungkiri ada beberapa kasus kesurupan yang bisa dijelaskan secara ilmiah, seperti kasus mengerikan Wabah Menari Strasbourg 1518.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI