Meski merupakan bangsa besar, Indonesia saat ini masih didera banyak cobaan. Misalnya saja, negara kita sekarang sedang mengalami kemunduran sejumlah indeks demokrasi. Di sisi lain, perekonomian kita pun menghadapi tantangan berupa penurunan daya beli dan risiko PHK di mana-mana akibat imbas pelemahan ekonomi global maupun nasional.
Maka itu, kita memerlukan sosok pemimpin di berbagai tingkatan yang mampu menjalankan kekuasaan politik secara ideal demi menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat luas. Kita rasanya perlu merefleksikan apa itu kekuasaan politik yang ideal. Untuk itu, kita bisa menengok khazanah filsafat politik. Sebagai awal, beranjak dari esensi filsafat sebagai "pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang semua lapangan kenyataan" (Harry Hamersma, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, Kanisius, 2008) dan "refleksi kritis dan rasional" (Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila, Gramedia, 1989), filsafat politik adalah "telaah kritis dan mendalam terkait hakikat menyeluruh kekuasaan."
Di sini, kita bisa membuka kepustakaan dari sang peletak fondasi filsafat politik itu sendiri, Plato (429 SM -- 347 SM). Dalam buku Politeia (Republik) yang berisikan pemikirannya seputar politik dan negara (dikutip dari Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Mizan, 2001), Plato menguraikan kondisi keadilan dalam suatu negara hanya bisa tercapai apabila ada persesuaian dan keselarasan antara fungsi di satu pihak dan kecakapan di sisi lain. Dengan kata lain, keadilan tercapai apabila tiap orang melakukan dan mengabdikan diri pada fungsi mereka masing-masing. Berpijak pada pemikiran inilah, Plato lantas membagi fungsi dan kelas dalam suatu masyarakat dan negara menjadi tiga, yang menarik karena meminjam elemen-elemen jiwa sebagai perumpamaan.
Pertama, elemen keinginan dalam jiwa, seperti rasa lapar dan cinta. Plato menyamakan elemen yang dianggap rendah ini sebagai fungsi kelas pekerja, yang memang tujuannya adalah mencari nafkah ekonomi dan penghidupan. Alhasil, kelas pekerja menduduki kasta terendah dalam satu masyarakat.
Kedua, elemen semangat dan kehormatan. Dalam negara versi Plato, elemen ini diwakili oleh kelas prajurit atau tentara karena semangat memberikan inspirasi bagi manusia untuk bertempur, tetapi bukan karena ambisi, melainkan karena rasa memberontak terhadap ketidakadilan. Di sini, kelas prajurit berada di atas kelas pekerja.
Ketiga, elemen akal (logos). Inilah elemen yang menjadi representasi penguasa ideal menurut Plato. Penguasa adalah sosok yang memiliki pengetahuan sejati tentang Kebenaran (Truth), sehingga dia menjadi pribadi yang paling pantas untuk memimpin negara mencapai kondisi adil, makmur dan sejahtera. Plato pun lantas memberikan julukan mentereng bagi penguasa sang wakil akal semacam ini, Filsuf-Raja (Philosopher-King).
Karena itu, mafhumlah kita bahwa seorang pemimpin---terutama elit politik---harus mengutamakan rasio atau kepala dingin dalam memimpin rakyatnya, bukan emosional. Artinya seorang pemimpin politik harus mengedepankan aspek persuasi dan negosiasi dalam mengatasi masalah, bukan tangan besi yang sering secara salah kaprah diidentikkan dengan 'ketegasan' atau 'prasyarat stabilitas politik.' Dalam tataran praktis, proses pembuatan keputusan pun harus lebih mengutamakan konsensus yang adil ketimbang permainan kalah-menang (zero-sum).
Selain itu, filsuf-raja mestilah sosok yang mampu mengawinkan elemen perencanaan dan pelaksanaan secara serasi. Semua orang bisa punya gagasan ideal, cita-cita muluk, dan visi mengawang-awang. Akan tetapi, semua itu jelas percuma jika tidak dibarengi dengan aspek pelaksanaan. Kata filsuf-raja sendiri sudah mengisyaratkan pentingnya dua aspek ini. Sosok filsuf adalah dia yang mampu berpikir penuh terobosan (out-of-box) dan inovatif, tapi sosok raja sebagai pengemban kekuasaan eksekutif adalah dia yang harus melaksanakan segala rencana yang sudah ia susun matang. Di negara kita, sudah sering kita dengar rencana-rencana bagus yang indah di tataran konsep dan di atas kertas, tapi melempem di tataran pelaksanaan. Kinilah saatnya sosok-sosok pemimpin dan elit politik kita mulai berupaya memadukan elemen visi dan aksi, cita-cita dan tindak nyata, mimpi dan implementasi.
Akhirulkalam, konsep Filsuf-Raja terbukti punya kegunaan teoretis besar bagi kita warga negara untuk menilai para elit politik kita, dari level eksekutif maupun legislatif, dari tingkat daerah maupun nasional, yang sedang bekerja. Ini akan berguna bagi kita untuk
menghukum mereka yang gagal mengemban amanat ini lima tahun ke depan dan menggantikan mereka dengan yang baru.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI