Di tengah tantangan ekonomi berat yang melanda dunia, termasuk Indonesia, seperti ancaman tergerusnya banyak jenis pekerjaan akibat perkembangan teknologi digital dan artificial intelligence, mentalitas produktif menjadi niscaya. Harapannya, pemupukan mentalitas produktif akan membuat masyarakat giat berikhtiar mencari pekerjaan atau menunjukkan kerja maupun karya yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan masyarakat.Â
Sayangnya, kebanyakan bangsa Indonesia justru dihinggapi mentalitas kontrakreatif dan kontraproduktif. Menurut Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag. dalam Fajar Baru Islam Indonesia (Mizan, Bandung, 2012, hal. 223-224), mentalitas negatif itu bisa diidentifikasi ke dalam enam rumpun. Pertama, budaya  malas, pasif, menganggur dan menunggu. Kedua, budaya yang lebih suka berkonflik dan berintrik ketimbang bersaing dari segi prestasi (meritokrasi). Ketiga, mentalitas menjadi objek, bergantung pada pihak lain, meniru, dan mengikuti kebiasaan lama.Â
Keempat, mentalitas alakadarnya (mediokritas) ketimbang mengejar target. Kelima, lebih suka dengan rutinitas ketimbang mencari terobosan baru dan lebih gemar mencari peluang ketimbang menciptakan peluang. Keenam, mentalitas pekerja alih-alih pengusaha dan mentalitas hanya mengimpor bahan mentah ketimbang mengolahnya.Â
Jelas, mentalitas negatif seperti di atas akan membuat bangsa kita hanya menjadi sapi perahan "konsumen" yang diperas uangnya demi menggemukkan pundi-pundi produsen asing tanpa kita meraih banyak manfaat dari segi alih teknologi ataupun penciptaan lapangan kerja yang signifikan. Alhasil, masyarakat akan terdorong melakukan kegiatan konsumsi berlebihan (overspending). Efek negatifnya, kegiatan konsumsi tanpa dibarengi mentalitas kreatif-produktif mau tak mau mesti dibiayai oleh utang.Â
Akibatnya, dalam jangka panjang, masyarakat akan terbelit utang karena tak mampu mendapatkan penghasilan untuk membiayai utangnya. Atau, lebih parah lagi, mereka mencoba membeli harapan palsu dengan terlibat dalam judi online (judol). Dengan kata lain, mentalitas kontrakreatif dan kontraproduktif plus konsumsi berlebihan lambat laun akan menggerogoti kualitas perekonomian nasional secara keseluruhan. Secara makro, ini juga akan membuat Indonesia tidak bisa lepas dari perangkat pendapatan-menengah (middle-income trap)Â alias pendapatannya di situ-situ saja, tidak bisa naik
Saatnya berubah
Oleh karena itu, Indonesia mau tak mau harus berbenah. Untuk menuju ke arah sana, setidaknya kita bisa merintis dua inisiatif.
Pertama, menanamkan etos dan mentalitas kreatif lagi produktif dalam diri generasi muda kita sejak dini. Cara termudah untuk melakukan ini adalah melalui dongeng. Merujuk studi klasik David McClelland tentang N-Ach alias need for achievement (kebutuhan untuk berprestasi), negara-negara yang sukses ekonominya ternyata memiliki bangsa dengan N-Ach tinggi. Kemudian, ternyata bangsa-bangsa dengan N-Ach tinggi tersebut didapati memiliki koleksi dongeng-dongeng, fabel-fabel (dongeng bertokohkan binatang), dan folklor-folklor yang kaya taburan hikmah tentang mentalitas produktif atau N-Ach tadi (lihat Ismail Marahimin dalam antologi Kreatif Menulis Cerita Anak, Nuansa, Bandung, 2012). Ini diperkuat dengan tesis dari Salim Said (Prisma 1, 1990, edisi Budaya Pop, Budaya Massa) yang menyatakan bahwa produk seni dan budaya memainkan kesalingterpengaruhan dalam mencerminkan realitas masyarakatnya, termasuk mentalitasnya.Â
Dengan kata lain, rintisan menanamkan mentalitas produktif bisa dimulai oleh pemerintah lewat penjalinan kerja sama sinergis dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) di industri kreatif kita ---termasuk film, musik, buku, tayangan media sosial seperti konten TikTok, dan lain sebagainya---guna menghasilkan secara masif produk-produk yang disisipi nilai mentalitas produktif. Tentu semua produk itu harus mampu menyampaikan nilai mentalitas produktif itu secara tidak dogmatis alias tidak menggurui. Lihat saja, Malaysia sudah merintis ke arah sana dengan serial Upin Ipin yang dua tokohnya digambarkan penuh rasa ingin tahu, kreatif, dan tidak malu menjadi pengusaha sejak kecil.
Kedua, dari segi industri, Indonesia kembali harus mengamalkan himbauan lama untuk berfokus pada industri pengolahan (manufaktur) ketimbang hanya pada industri bahan mentah. Kembali, ini membutuhkan tekad politik (political will) dari pemerintah berupa pencanangan program, pemberian insentif, dan pembangunan pelbagai infrastruktur yang menunjang ke arah tersebut.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI