Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Hukuman Mati, Bagaimana Teori Hak Asasi Manusia Memandangnya

31 Januari 2025   12:46 Diperbarui: 31 Januari 2025   10:11 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Miriam Budiardjo, pakar HAM dan mantan Wakil Ketua Komnas HAM  (Sumber: tokoh.id)

Salah satu isu filosofis hangat yang tak kunjung habis diperdebatkan adalah hukuman mati. Kebanyakan yang menentang hukuman mati adalah negara-negara Barat yang rata-rata memang sudah menghapuskan hukuman pidana mati. Padahal, sikap anti-hukuman mati hanyalah turunan dari salah satu mazhab HAM dunia. 

Menurut Prof. Miriam Budiardjo (Demokrasi di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, 1995), ada dua mazhab pemikiran utama dalam khazanah teori HAM. Pertama, mazhab HAM universal. Dalam mazhab ini, HAM dianggap sebagai sesuatu yang bersifat umum dan berlaku di mana-mana tanpa mempertimbangkan konteks budaya dan geografis dari suatu tempat. Contoh-contoh dari HAM ini adalah hak hidup, hak beragama, dan hak kebebasan berpendapat. Hak-hak ini tak bisa diganggu-gugat dalam pelaksanaannya di mana pun. Dari perspektif ini, hukuman mati dianggap melanggar hak hidup sebagai hak manusia paling dasar.

Padahal, hak hidup tergolong sebagai hak sipil dan politik (civil and political rights), yang merupakan generasi pertama HAM warisan Barat. Dua generasi susulan HAM lainnya adalah hak ekonomi sosial-budaya (hak bekerja, hak pendidikan, dan lain-lain) gagasan negara Timur, dan hak perdamaian dan pembangunan hasil perjuangan negara-negara berkembang (hak merdeka, hak sederajat
dengan bangsa lain, dan lain sebagainya).

Kedua, mazhab HAM kontekstual. Berdasarkan mazhab ini, HAM dan pelaksanaannya memiliki dimensi khas yang berbeda-beda. Adapun perbedaan itu mempertimbangkan, dan tergantung pada, konteks geografis, nilai, dan budaya masing-masing wilayah atau negara. Inilah buah dari hak ekonomi sosial-budaya ala Timur tadi yang tidak ingin sekadar membeo pada konsep HAM generasi pertama besutan dunia Barat. Maka itu, pelaksanaan berbagai konsep HAM bisa mengambil beraneka bentuk.

Misalnya, pelaksanaan kebebasan berekspresi sebagai sokoguru demokrasi bisa lain di dunia Timur yang lebih paternalistis (baca: meneladani penguasa) dan mengutamakan kestabilan atau keselarasan (harmoni), pun jika negeri-negeri di belahan dunia Timur itu mengaku telah menerapkan demokrasi. Kebebasan itu bisa dibatasi dengan rambu-rambu lebih ketat dibandingkan di dunia Barat
senyampang pemagaran itu bisa menjamin kestabilan yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi, yang biasanya menjadi masalah di negara-negara Timur dan berkembang. Dalam bahasa lain, perspektif pemagaran inilah yang dilabeli dengan Kewajiban Asasi Manusia atau KAM (Human Responsibilities).

Justifikasi

Beranjak dari kerangka di atas, kita kini bisa menyimpulkan bahwa hukuman mati mendapatkan "justifikasi filosofis" berdasarkan nilai-nilai ke-Indonesia-an, misalnya nilai-nilai Ketuhanan yang mewujud dalam ajaran-ajaran luhur agama yang dianut oleh warga negara Indonesia. Dari perspektif Islam, sebagai contoh, hukuman mati masih diperbolehkan untuk kasus-kasus tertentu. Sebagaimana dikemukakan Ziauddin Sardar dalam Reading the Qur'an: The Contemporary Relevance of the Sacred Text of Islam (terjemahan, Serambi, 2014, hlm. 448), Islam bahkan menganjurkan hukuman mati bagi orang yang "membuat kerusakan di muka bumi.' Mereka inilah tipe penjahat kambuhan, brutal dan menyimpang yang tidak memiliki pemahaman tentang konsep tobat dan perubahan cara hidup, seperti: pembunuh serial, pemerkosa berantai, dan sebagainya. Mereka adalah orang yang justru gelisah kalau tidak berbuat dosa dan tipe orang yang, jika tidak dienyahkan, malah akan mengancam harmoni dan keamanan masyarakat secara keseluruhan.

Oleh karena itu, Indonesia mestilah berani menggali nilai-nilainya sendiri dalam merumuskan versi HAM khas beserta pelaksanaannya, termasuk soal hukuman mati. Negara harus berani menjaga tegas keamanan warganya sendiri akibat bahaya kejahatan-kejahatan luar biasa, seperti pembunuhan sadis, peredaran narkoba., koruptor, dan pemerkosa kambuhan lewat berbagai hukuman pemberi efek jera (deterrent effect) semisal hukuman mati. Lagi pula ada satu fakta menarik terkait hukuman mati di kiblat
mazhab HAM universal sendiri, Amerika Serikat: beberapa dari 50 negara bagian di sana ternyata masih membolehkan hukuman mati!
 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun