Dalam pemikiran Islam, ada arus pendapat yang menganggap Islam bukan sekadar agama, melainkan juga ideologi yang harus mengurusi segala aktivitas kemasyarakatan di luar aspek ruhaniah manusia. Termasuk di dalamnya adalah aspek politik, ekonomi, dan lain-lain (kaffah). Maka itu, di tengah gairah Islam dalam kelas menengah Indonesia, orang mulai menggandrungi ekonomi Islam. Selain itu, politik Islam masih langgeng di negara kita, terlihat dari masih adanya sejumlah partai berbasiskan Islam.
Sayangnya, hanya dalam dua aspek itu ideologi Islam tampak mewarnai perkembangan infrastrukturnya, termasuk infrastruktur keilmuan. Kita mengenal ekonomi syariah dan teori politik Islam sebagai matakuliah favorit di pendidikan tinggi. Sebaliknya bidang-bidang lain, seperti sosiologi, justru tertinggal. Padahal, sosiologi yang disebut Ratu Ilmu Sosial oleh Auguste Comte (Ritzer, Sociological Theory, 1994) adalah kunci penting bagi masyarakat Islam untuk menguak segala tabir yang mengalangi upayanya mensejajarkan diri dengan Barat.
Maka itu, usaha menggali sosiologi bermazhab Islam merupakan keniscayaan bagi umat Islam untuk mengejar ketertinggalannya dengan peradaban Barat atau peradaban lain seperti China dan India, sebuah kontestasi yang diutarakan Samuel Huntington dalam Clash of Civilizations (1992).Â
Tiga Mazhab Barat
Dalam pemikiran Barat, berbagai teori sosiologi bisa dikelompokkan ke dalam tiga mazhab atau paradigma besar. Pertama, paradigma struktural fungsional. Paradigma ini menganggap masyarakat sebagai sebuah struktur yang terdiri dari orang-orang yang memiliki fungsi masing-masing. Oleh karena itu, jika terjadi suatu masalah sosial, itu diakibatkan oleh tidak berjalannya salah satu atau lebih fungsi-fungsi tersebut. Sebagai contoh, jika terjadi korupsi, seorang sosiolog bermazhab ini akan mencari apakah ada masalah dalam fungsi-fungsi kemasyarakatan seperti pendidikan, ekonomi, dan lain sebagainya. Sang sosiolog lantas, misalnya, bisa mengatakan korupsi terjadi akibat pendidikan karakter yang bermasalah.Â
Kedua, paradigma interaksionis-simbolik. Jika paradigma pertama bersifat makro, yang ini lebih mikro. Cara kerja sosiolog paradigma ini adalah menganalisa interaksi antaraktor dalam masyarakat seraya meluaskan analisa mikro ini pada tingkatan makro. Umpamanya, kasus tawuran karena perebutan lahan parkir akan dianalisa lewat interaksi antaraktor utama yang saling bertikai. Jika ditemukan para aktor itu berpandangan masing-masing telah melanggar "daerah kekuasaan" lahan parkir, sang sosiolog akan
meluaskan pandangannya bahwa "daerah kekuasaan" merupakan simbol yang wujudnya bisa bermacam-macam dalam beraneka kasus.
Ketiga, paradigma konflik. Paradigma ini beranggapan masyarakat hanya terdiri dari dua kelas. Yaitu, kelas borjuis yang menguasai alat produksi dan kelas proletar (buruh) yang tertindas serta tidak memiliki alat produksi. Berdasarkan ini, masalah pendidikan mahal, misalnya, bisa didekati seorang sosiolog dengan menganalisa apakah sebenarnya ongkos tinggi itu dirancang oleh kaum borjuis demi melanggengkan kekuasaannya.
Jalan pikirannya seperti ini. Kaum kapitalis menguasai alat produksi, termasuk alat untuk menghasilkan pengetahuan yang bermanfaat bagi dunia kerja, yaitu sekolah. Selanjutnya, supaya kelas proletar tidak mengancam kekuasaan kaum borjuis, kaum borjuis pun mengkomersilkan pendidikan agar hanya orang berduit punya akses ke sana. Akibatnya, mayoritas orang pintar adalah orang berduit, sehingga kekuasaan kaum borjuis pun dapat dipertahankan.
Tiga Asumsi Dasar Islam
Namun, kita bisa melihat ada kelemahan dari ketiga paradigma di atas. Ada yang terlalu menekankan pada struktur dan menafikan aktor di satu sisi dan ada yang menekankan pada aktor di sisi lain. Karena itu, Paradigma Islam sebenarnya mampu memberikan keseimbangan antara keduanya. Untuk itu, kita perlu memeriksa tiga asumsi dasar dalam sosiologi (Perdue, Sociological Theory, 1992).