Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memperkenalkan Paradigma Islam Sebagai Mazhab Sosiologi Keempat

31 Januari 2025   11:44 Diperbarui: 31 Januari 2025   09:57 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Sosiolog Iran lulusan Sorbonne, Ali Syariati (Sumber: lsfdiscourse.org)

Pertama, asumsi tentang manusia. Dalam Islam, manusia adalah wakil Tuhan di muka bumi sehingga manusia bersifat pemelihara. Artinya, segala bentuk hubungan antara manusia dan lingkungannya adalah fungsional dan memiliki kesalingterkaitan. Dalam hal ini, Paradigma sosiologi Islam mendekati paradigma struktural fungsional.

Kedua, asumsi tentang masyarakat. Islam menolak pandangan yang terlalu menekankan individualitas manusia atau yang terlalu mengutamakan masyarakat. Jalan tengah inilah yang menurut Islam mewujud dalam konsep ummah. Menurut konsep ini, seorang muslim sejatinya memiliki otonomi untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan yang berguna bagi dirinya sendiri. Akan tetapi, kemampuannya itu juga wajib dikerahkan untuk kebaikan masyarakat Islam secara kolektif (ummah).

Hanya dalam perjalanan sejarah, ummah dikotori oleh anasir-anasir jahat yang selalu membuat kerusakan. Ali Syari'ati dalam Tentang Sosiologi Islam (1990) mendeskripsikan anasir-anasir jahat itu sebagai kekuasaan korup (Fir'aun), agama yang bersifat candu (Bal'aam), dan kaum kapitalis pemupuk laba (Qarun). Kalau dalam khazanah sosiologi Barat, persekutuan jahat ketiga anasir ini disebut Max Weber sebagai sumber daya otoritas, budaya, dan ekonomi yang menentukan kelas-kelas dalam masyarakat. Pendeknya, asumsi ini mirip asumsi interaksionis-simbolik.

Ketiga, asumsi tentang fungsi ilmu. Menurut Islam, tujuan ummah adalah mencapai masyarakat yang sejahtera secara mental dan spiritual. Dengan kata lain, segala fungsi dalam masyarakat---termasuk ilmu---bertujuan melakukan perubahan sosial lewat upaya penguakan kesadaran kritis masyarakat terhadap ketidakberesan. Ilmu pengetahuan bersifat praxis dan membebaskan. Bukannya bebas nilai (value-free) dan sebatas preservatif (memelihara struktur yang ada) seperti diyakini mazhab struktural-fungsional. Berbeda pula dengan asumsi interaksionis yang interpretif (hanya menafsirkan). Jadi, asumsi ketiga ini mendekati Paradigma konflik.

Berdasarkan ketiga asumsi di atas, sosiologi Islam mampu meramu kekuatan-kekuatan dari tiga paradigma sosiologi Barat. Jika upaya pembuka jalan ini dapat dikembangkan lebih jauh, semoga paradigma Sosiologi Islam bisa kian mapan sebagai mazhab sosiologi keempat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun