Masyarakat Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan luar biasa, terutama di bidang ekonomi berupa penurunan daya beli, ancaman pemutusan hubungan kerja, dan melebarnya ketimpangan. Dengan kata lain, masyarakat kita berisiko mengalami masalah kejiwaan kolektif berupa rasa kesedihan, frustrasi, dan putus asa. Karena itu, bangsa ini membutuhkan pemimpin yang juga bertipe konselor terapis.
Konselor terapis ideal
Laiknya terapi penyakit kejiwaan, perawatan penyakit kejiwaan sosial suatu bangsa membutuhkan kehadiran seorang konselor terapis. Dalam konteks kehidupan berbangsa---apalagi dalam bangsa yang masih dominan budaya paternalistiknya seperti Indonesia---sosok konselor terapis ideal itu tentu dituntut mengejawantah dalam diri para pemimpin bangsa itu sendiri, yang saat ini secara kasta tertinggi disandang oleh Presiden Prabowo Subianto.
Dalam ilmu psikologi, David Capuzzi dan Douglas R. Gross (2003) menyatakan ada enam ciri yang seyogianya terhimpun dalam diri seorang konselor terapis ideal. Pertama, dia harus memiliki empati. Dalam hal ini, seorang pemimpin tipe konselor terapis ideal mesti merasakan secara tulus penderitaan rakyat, baik itu penderitaan berupa kesengsaraan ekonomi, ketidakadilan hukum,
kesewenang-wenangan kekuasaan, dan lain sebagainya. Juga, tidak sekadar empati, pemimpin konselor terapis-ideal harus mampu menerjemahkan rasa empatinya itu dalam bentuk kebijakan (policy) konkret untuk meringankan penderitaan rakyatnya.
Kedua, dia harus hormat dan berpandangan positif terhadap kemanusiaan. Maksudnya, sang pemimpin mesti menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) dan membela mereka yang hak asasinya tertindas. Dalam bahasa terang, seorang pemimpin konselor terapis ideal dituntut merumuskan kebijakan-kebijakan yang mampu mengangkat harkat kemanusiaan rakyatnya, seperti kebijakan menyediakan pendidikan yang bermutu, pangan yang cukup, layanan kesehatan terjangkau, penuntasan kasus-kasus
HAM, dan lain sebagainya.
Ketiga, sang pemimpin harus menjunjung kejujuran. Dia tidak boleh munafik alias lain ucapan, lain perbuatan. Segala permasalahan tidak boleh direspons dengan retorika belaka, melainkan harus diiringi dengan aksi nyata. Sebagai contoh, permasalahan korupsi jangan sampai hanya ditangani lewat janji-janji manis seraya melupakan langkah praktis yang menusuk langsung jantung persoalan.
Keempat, sang pemimpin dituntut memiliki ketajaman persepsi dan pikiran dalam menangkap realitas secara utuh. Pendek kata, sang pemimpin harus memiliki pemikiran komprehensif, bukan parsial alias sepotong-potong. Â
Kelima, sang pemimpin dituntut memiliki kepedulian dan kehangatan terhadap kemanusiaan. Dengan kata lain, sang pemimpin tipe konselor terapis ideal mesti memainkan peran sebagai pengayom dan pelindung yang mampu menenteramkan hati rakyatnya kala dirundung musibah atau petaka.
Terakhir, sang pemimpin diminta peka terhadap masalah yang terjadi "di sini" dan "saat ini." Maksudnya, ia selekas mungkin menangani setiap masalah yang merebak di tengah masyarakat. Ia tidak akan membiarkan masyarakat terseret dalam arus pusaran masalah yang berlarut-larut karena ia memiliki sense of crisis yang tinggi.Â
Setiap permasalahan, apalagi yang penting dan genting, akan ditangani semaksimal mungkin dengan penuh transparansi. Sebab, tanpa kepekaan, kelekasan, dan kelugasan semacam ini, masyarakat akan mendapati diri mereka larut dalam segala syak-wasangka dan terlena oleh berbagai seliweran teori konspirasi. Akibatnya jelas kontraproduktif karena energi masyarakat akan tersedot ke isu-isu tak pasti yang tak kunjung mendapatkan solusi. Sebagai contoh, ketegasan Presiden Prabowo Subianto tentu ditunggu dalam menuntaskan kasus kontroversial pagar laut.