Menjelang bulan kedua pada 2025 ini, prospek perekonomian kita masih muram. Pasalnya, pelemahan daya beli masyarakat nyata adanya. Liputan Agnes Theodora di Kompas pada 30 Desember 2024 ("Ekonomi yang dilemahkan") menunjukkan biaya hidup selama lima tahun terakhir (2019-2024) meningkat, sementara pendapatan warga jalan di tempat. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, dalam lima tahun terakhir, rata-rata pengeluaran per kapita kelas menengah melonjak 142 persen, dari Rp 2,36 juta per kepala per bulan pada 2019 menjadi Rp 3,35 juta per kepala per bulan pada 2024.Â
Namun, biaya hidup yang meningkat itu tidak diimbangi kenaikan upah yang sepadan. Hampir semua sektor usaha mengalami penurunan upah riil dalam lima tahun terakhir. Meski upah naik secara nominal, besarannya tidak mampu mengimbangi inflasi dan kenaikan biaya hidup. Ambil contoh, industri manufaktur sebagai salah satu sektor penyerap tenaga kerja terbanyak. Rata-rata upah riil bulanan di sektor tersebut turun 13,7 persen dari Rp 1,13 juta pada 2019 menjadi Rp 977.655 per bulan pada 2024.
Namun, pertanyaan besarnya yang tentu menghantui sebagian besar kita sebagai warga biasa adalah: apakah itu berarti kita sedang menyongsong krisis ekonomi seperti yang kita alami pada 1997-1998 (krisis moneter), 2008 (imbas krisis finansial global), dan 2020-2021 (imbas Covid-19). Ketimbang khawatir berlebihan (overthinking), kita lebih baik merenungkannya dengan kepala jernih berbekal teori siklus krisis dari ekonom pemenang Nobel, Paul Krugman.
Paul Krugman dalam bukunya The Return of Depression Economics (Penguin, 2008) menjelaskan bahwa krisis ekonomi akan terjadi jika ada kesalingterkaitan antara tiga faktor dalam apa yang disebut sebagai lingkaran setan krisis (vicious circle of economic crisis), yaitu: 1) hilangnya kepercayaan; 2) terjun bebasnya indikator-indikator makro ekonomi (pelemahan nilai tukar, lemahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya inflasi, tingginya pengangguran dan kemiskinan, defisit neraca dagang, dan seterusnya), 3) masalah keuangan yang dialami bank, perusahaan, rumahtangga, dan lain sebagainya. Krisis ekonomi bisa bermula dari salah satu faktor untuk kemudian menyeret faktor-faktor lainnya demi membentuk siklus sempurna krisis ekonomi.
Sebagai contoh, pelemahan indikator makroekonomi akan menyulitkan keuangan rumahtangga dan menurunkan konsumsi mereka serta menurunkan kinerja perbankan maupun perusahaan. Pada gilirannya, ini akan membuat ekspektasi atau keyakinan konsumen menurun. Lalu, ini akan berkontribusi pada kian menurunnya indikator makroekonomi, dan seterusnya, hingga kita mengalami apa yang disebut krisis ekonomi.
Konteks Indonesia
Teori Krugman sudah lebih dari cukup bagi kita untuk melakukan pemeriksaan kesehatan ekonomi kita dan mencari tahu apakah kita sungguh akan memasuki krisis ekonomi atau tidak.
Salah satu indikator paling cepat untuk mengukur sehat tidaknya suatu perekonomian sekaligus mendeteksi tanda-tanda awal krisis adalah angka pertumbuhan ekonomi (economic growth). Apalagi jika terjadi resesi di mana pertumbuhan ekonomi berkontraksi minus selama dua kuartal berturut-turut atau depresi di mana pertumbuhan ekonomi berkontraksi minus selama lebih dari dua kuartal berturut-turut.
Indikator lainnya adalah inflasi atau tingkat kenaikan harga, yang secara teoretis akan disebut sehat jika berada di kisaran antara 2% sampai 4%. Adapun tingkat kepercayaan konsumen di Indonesia bisa diukur dari Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), yang dikatakan positif jika angkanya di atas 100. Sementara itu, lemah kuatnya konsumsi dapat dilihat dari Purchasing Managers Index (PMI), yaitu sejauh mana sektor manufaktur di suatu negara mengalami ekspansi pertumbuhan. Angka PMI yang turun mengindikasikan tingkat permintaan konsumen yang melemah. Angka PMI yang baik sendiri harus berada di atas 50.