Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ada Tiga Jenis Populisme, Kenali Bahayanya Masing-Masing

30 Januari 2025   14:21 Diperbarui: 30 Januari 2025   14:21 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover Buku Dua Negeri, Empat Pemimpin karya William Liddle yang memuat konsep populisme politik (Sumber: koleksi pribadi)

Pada pemilihan presiden AS 2024 lalu, dunia dikejutkan dengan kemenangan Donald Trump. Pasalnya, Trump mencalonkan diri dengan menyandang status terpidana dalam beberapa kasus. Kemudian, Trump dianggap menyalahi prinsip demokrasi dan transisi kepemimpinan damai ketika menyetujui para pendukungnya menyerbu Capitol Building di Washington DC saat sidang Kongres pada 6 Januari 2021, dua bulan menyusul kekalahannya melawan Joe Biden.

Namun, kemenangan Trump melawan Kamala Harris pada 2024 seharusnya tidak mengherankan. Pasalnya, Trump mampu memainkan kartu tren bernama populisme secara baik. Populisme sendiri adalah aliran politik yang mengancam demokrasi dan memiliki tiga varian: populisme umum, populisme politik identitas, dan populisme teknokratis. Kita perlu memahami ketiganya untuk mencegah bahaya yang sama menimpa Indonesia di masa depan.

Populisme Umum

Pertama, populisme secara umum atau populisme umum. Abercrombie mendefinisikan populisme politik sebagai "bentuk khas retorika politik yang menganggap keutamaan dan keabsahan politik terletak pada rakyat, memandang kelompok elit dominan sebagai korup dan bahwa sasaran politik akan dicapai paling baik melalui hubungan langsung antara pemerintah dan rakyat." Sementara itu, Meny dan Surel memberikan tiga aspek esensial populisme: rakyat adalah segalanya, menitikberatkan aspek pengkhianatan elit terhadap rakyat melalui modus korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan, dan menuntut penempatan pemimpin kharismatis yang menyuarakan hati nurani rakyat (Burhanuddin Muhtadi, Populisme Politik Identitas dan Dinamika Elektoral, Intrans, 2019).

Jadi, populisme adalah senjata ampuh untuk menggugat pemimpin petahana jika dia gagal memenuhi janji politiknya. Apalagi jika kita merujuk Christa Deiwiks dalam "Populism" (Living Reviews in Democracy 3, 2009) bahwa populisme tumbuh subur dalam kondisi krisis ekonomi dan kemiskinan, kegeraman terhadap kegagalan demokrasi perwakilan, dan adanya kesenjangan ekonomi dalam masyarakat yang disertai kegagalan pemimpin politik memenuhi janji-janji kampanye mereka. Di sinilah, Trump berhasil meraih kemenangan berbekal populisme karena banyak masyarakat AS menganggap Biden gagal memenuhi mandat politiknya, seperti perbaikan ekonomi, politik luar negeri yang kuat, dan penegakan hukum yang baik.

 Bahaya populisme umum ini adalah ia mengajarkan bahwa demokrasi itu dibangun atas dasar emosi atau sentiment, bukan rasio atau argumen logis. Maka itu, penggunaan populisme hampir pasti juga dibarengi dengan penyebaran kabar bohong (hoaks) demi membakar sentimen masyarakat secara kolektif.

Populisme Politik Identitas

Kedua, populisme politik identitas. Inilah varian di mana populisme politik umum berhimpitan dengan politik identitas. Merujuk Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafi'i (Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Paramadina, 2010), politik identitas terkait dengan kepentingan anggota-anggota sebuah kelompok sosial yang merasa diperas dan tersingkir oleh dominasi arus besar dalam satu negara. Di AS, misalnya, para penggagas teori politik identitas berargumen bahwa praktik pemerasanlah yang membangun kesadaran golongan yang diperas, khususnya masyarakat kulit hitam dan etnis lainnya yang merasa terpinggirkan oleh roda kapitalisme yang berpihak kepada pemilik modal dari golongan kulit putih.

Pendapat Buya Syafi'I ini menguatkan pendapat William Liddle (Dua Negeri Empat Pemimpin, Penerbit Kompas, 2021) bahwa politik identitas menjadi sangat berbahaya apabila dikaitkan dengan populisme yang mengobarkan narasi ketidakadilan melalui prasangka negatif terhadap identitas lain. Populisme politik identitas inilah yang menyumbangkan kemenangan Donald Trump atas Hillary Clinton dalam pilpres AS 2016. Kala itu, Trump berhasil menghubungkan kegeraman ekonomi orang kulit menengah ke bawah di kota kecil dan pedesaan dengan prasangka ras, khususnya dengan keyakinan bahwa kemunduran ekonomi mereka merupakan akibat dari kemajuan orang Amerika-Afrika dan Hispanik. Akibatnya, banyak kaum kulit putih konservatif yang memberikan suara kepada Trump pada 2016.

Sementara dalam konteks Indonesia, fenomena penguasaan ekonomi oleh etnis minoritas Tionghoa non-Muslim membuat etnis Muslim sebagai mayoritas merasa teralienasi sehingga sebagian dari mereka mudah masuk ke dalam retorika populisme politik yang antielit dan antikemapanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun