Akan tetapi, karena para elit politik koruptif dalam suatu sistem demokrasi sadar posisi mereka bisa digantikan sewaktu-waktu oleh pemilihan umum berkala, mereka tak segan-segan untuk secara rakus menjarah harta negara sampai habis, sebelum mereka mengembara ke lembaga atau tempat lain yang menjanjikan harta baru. Alhasil, terjadilah korupsi sistematis berskala masif di suatu sistem demokratis yang belum stabil. Tambahan lagi, muncul pula fenomena para oknum pejabat job-seeker (pencari kerja) yang melompat ke institusi lain jika mereka terpental dari posisi awal mereka. yang kerjanya menjarah habis kekayaan di satu sektor untuk kemudian secara rakus menjarah sektor-sektor lainnya. Dengan kata lain, absennya persaingan sehat antarpartai dari segi ideologis justru akan melanggengkan kekuasaan di genggaman kaum berharta dan membuat massa-rakyat jadi kian tidak berdaya.
Apa obat bagi penyakit ini? Melakukan reideologisasi partai. Maksudnya, partai politik harus menunjukkan lebih tegas lagi warna politik (ideologi) mereka dalam setiap perumusan kebijakan supaya ada persaingan antarpartai. Ini bermanfaat juga bagi partai karena akan memperkuat kedekatan dan loyalitas pemilih dengan partai. Sebab, tren masyarakat Indonesia menunjukkan party ID terus menurun dari 86% pada pemilu 1999 ke 55% pada pemilu 2004, 20% pada 2009, 14% pada 2014, dan 10-12% pada 2017 (Psikologi Politik, 2022, Penerbit Kompas).
Reideologisasi partai juga akan membuat partai teguh mencalonkan kader yang berkualitas dan terbukti dekat dengan konstituen meskipun minim logistik uang. Alhasil, reideologisasi menjadi salah satu faktor yang bisa menurunkan demokrasi berbiaya mahal (high-cost democracy).
Ketiga, penyakit populisme. Menurut Azyumardi Azra (pengantar dalam buku Populisme, Politik Identitas, dan Demokrasi Indonesia, Intrans, 2019), populisme yang mengedepankan retorika keberpihakan pada rakyat yang selalu dikorbankan elit politik dan/atau rezim penguasa. Retorika itu kemudian diperkuat dengan mengobarkan permusuhan kepada pihak-pihak tertentu, seperti orang kaya, imigran, etnis tertentu, dan lain sebagainya. Ini berbahaya bagi demokrasi karena lebih mengedepankan emosi atau sentiment ketimbang rasionalitas atau argumen. Akibatnya, hoaks (kabar bohong) gampang dihembuskan sebagai alat politik dan masyarakat bisa gampang termakan kabar tersebut. Bahaya lainnya adalah populisme bisa berujung pada kekerasan terhadap mereka yang dipersepsikan musuh atau pihak berbeda.
Apa obat bagi penyakit ini? Melakukan rasionalisasi radikal secara terus-menerus lewat upaya-upaya edukasi kritis yang mencerahkan sekaligus membebaskan supaya masyarakat tida gampang hanyut oleh sentiment emosional kala memilih pejabat dalam pemilihan umum. Juga, tidak gampang termakan hoaks dalam menyikapi segala kabar politik. Rasionalitas ini bisa dipupuk lewat berbagai kanal, baik yang masuk arus utama (mainstream) ataupun di luar arus utama, seperti lewat LSM, media, diskusi pemikiran kritis, dan lain sebagainya.
Â
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI