Jika menelaah perkembangan pemberantasan korupsi di Indonesia sesudah hampir 27 tahun mengarungi proses reformasi, kita pasti prihatin sekaligus mengurut dada. Ketimbang surut, korupsi tampaknya kian merajalela. Lihat saja berbagai kasus korupsi bernominal jumbo yang masih terjadi, seperti kasus korupsi timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun lebih. Bahkan, berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK), Indonesia pada 2024 masih berada di urutan ke-115 dari 180 negara dengan IPK 34.
Alhasil, meski banyak yang membantah, tidak salah juga jadinya jika ada orang yang mengamini pernyataan Bung Hatta (1902 -- 1980) dan Mochtar Lubis (1922 -- 2004) berdasawarsa-dasawarsa lalu bahwa korupsi adalah bagian dari kebudayaan kita.
Indikator budaya
Mencari indikator untuk memvonis korupsi sebagai bagian budaya bangsa kita sebenarnya mudah. Yaitu, jika pelaku korupsi merasa tidak ada yang salah dengan perilakunya. Berbeda misalnya jika para koruptor itu memiliki perasaan malu ketika sudah mendapatkan tuduhan korupsi. Hadirnya perasaan malu menandakan hati kecil para koruptor itu mengakui salahnya perbuatan mereka, hanya saja mereka tetap melakukannya karena berbagai motif.
Tampaknya hal pertamalah yang ada di Indonesia. Absennya perasaan bersalah dalam melakukan korupsi terwujud dari betapa tenangnya para tersangka korupsi dalam menghadapi proses peradilan. Bahkan, ada tersangka koruptor yang berani berkoar-koar menantang siapa pun membuktikan dugaan praktik koruptif yang dialamatkan kepadanya. Juga, mati-matian mempertahankan posisinya. Ringkasnya, suka tidak suka, korupsi memang sudah menjadi bagian dari budaya kita.
Meminjam sosiolog Pierre Bourdieu (1930-2002) sebagaimana disitir George Ritzer (Modern Sociological Theory, 2003), budaya inilah yang disebut habitus korupsi. Yaitu, praktik berulang yang diwarisi dan dimodifikasi oleh satu aktor sosial hingga menjadi kebiasaan praktis ibarat orang naik sepeda. Terbentuknya habitus korupsi kemudian menciptakan kesan tidak ada yang salah dalam praktik korupsi. Â Setidaknya ada lima faktor yang menyuburkan budaya korupsi di Indonesia.Â
Pertama, korban korupsi umumnya tak berwajah. Berbeda dengan kasus kriminal lain seperti pencurian atau pembunuhan di mana korbannya konkret merujuk pada pribadi tertentu yang menjadi korban. Akibatnya, pelaku korupsi tidak merasakan getaran empati terhadap korban. Sebab, sang pelaku memang tidak dapat melihat korbannya secara konkret.
Kedua, nikmat dan manfaat melakukan korupsi ternyata lebih besar daripada mudaratnya. Bayangkan saja, para koruptor dari hasil jarahan mereka mampu tetap berbusana perlente di persidangan, menikmati fasilitas dan diskresi mewah di rutan dan penjara, serta tampil anggun di berbagai forum publik semisal televisi.
Ketiga, "justifikasi kompensatif" oleh para koruptor itu sendiri. Sebagai contoh, kadang pelaku korupsi menampilkan diri sebagai orang yang dermawan menebarkan sumbangan pada masyarakat sekitar. Atau, mendirikan berbagai perusahaan yang menciptakan lapangan kerja. Bisa juga, mendirikan berbagai yayasan sosial yang berfungsi ganda sebagai kedok sekaligus sebagai pembenaran bahwa hasil korupsi mereka toh bermanfaat juga bagi masyarakat luas. Dengan begini, mereka justru merasa berjasa melakukan korupsi. Padahal logikanya, kalau mereka tidak mengorupsi uang negara, manfaat yang dirasakan publik pastilah lebih besar lagi.
Keempat, masyarakat yang permisif terhadap koruptor. Artinya, masyarakat sering menutup mata terhadap kesenjangan antara profesi dan gaya hidup seorang pelaku korupsi asalkan koruptor itu merupakan orang murah hati yang siap memberikan berbagai amal bagi mereka. Alhasil, permisivitas masyarakat ini kian menguatkan korupsi sebagai budaya.