Masyarakat Indonesia sekarang ini sedang dihebohkan oleh kasus pembunuhan melibatkan mutilasi di Ngawi. Kasus ini demikian keji karena potongan tubuh korban dimasukkan oleh tersangka A ke dalam koper.
Tak pelak, kasus ini adalah sentakan bagi kita di awal tahun 2025. Terkait kasus pembunuhan, Bareskrim Polri mencatat bahwa sebanyak 1.074 orang telah ditindak sebagai terlapor dalam kasus pembunuhan pada Januari-3 Desember 2024. Menariknya, data Bareskrim lebih jauh memaparkan bahwa kelompok petani, nelayan, dan pedagang mencatatkan jumlah terlapor terbanyak, yaitu 128 orang. Tingginya angka tersebut dipengaruhi oleh faktor sosial-ekonomi, seperti tekanan ekonomi, yang sering kali terjadi pada mereka yang bekerja di sektor informal. Kemudian, karyawan swasta menempati urutan kedua dengan 72 terlapor, yang menggambarkan bahwa meskipun bekerja di sektor formal, masalah internal seperti tekanan pekerjaan, hubungan antar rekan kerja, atau masalah pribadi dapat berujung pada tindak kriminal.
Teori struktural tentang pembunuhan
Apa makna di balik data di atas? Faktor ekonomi ternyata berperan penting sebagai kriminogen (faktor pencetus terjadinya tindak kriminal). Ini selaras dengan teori struktural tentang pembunuhan (structural theory of homicide) dalam sosiologi kejahatan atau kriminologi. Mengutip Eko Hariyanto dalam Memahami Pembunuhan (Penerbit Kompas, 2014, hal. 75, 127), ada dua faktor yang melatari tingginya tingkat pembunuhan. Pertama, pembunuhan biasanya meningkat ketika terjadi kesenjangan ekonomi, di Â
mana pembunuh merasakan deprivasi absolut dan/atau deprivasi relatif dalam berbagai aspek, terutama ekonomi. Deprivasi ekonomi absolut adalah jika seseorang merasakan kesengsaraan ekonomi secara absolut melalui ukuran-ukuran mutlak, seperti tidak memiliki penghasilan, tidak memiliki kemampuan memenuhi kebutuhan pokok, dan lain sebagainya. Sementara itu, deprivasi relatif lebih berfokus pada masalah ketidaksetaraan. Artinya, bisa saja seseorang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, tapi dia merasa kekurangan karena banyak orang di lingkungannya hidup jauh lebih baik.
Kedua, pembunuhan sering kali justru diprovokasi oleh korban sendiri (victim-precipitated). Misalnya saja, korban mungkin melontarkan kata-kata yang menyakiti pembunuh atau korban sering merisak (bullying) sang pembunuh yang kemudian gelap mata dan berkeputusan untuk membunuh demi melampiaskan amarahnya. Contoh fenomena ini adalah kasus Ngawi yang disebut di awal tulisan. Sementara ini, tersangka A mengakui bahwa dia melakukan pembunuhan karena kesal dengan korban yang mendoakan hal jelek bagi anak si pelaku.
Merujuk teori inilah, situasi kesulitan ekonomi berpotensi menjadi faktor kriminogen bagi kemungkinan tingginya tingkat pembunuhan. Sebab, kesulitan ekonomi akan memiskinkan orang. Kemungkinan maraknya PHK, menurunnya penghasilan karena lesunya ekonomi, dan lain sebagainya sebagaimana yang terlihat di negeri kita belakangan ini, jelas membuat orang merasa tak berdaya. Orang-orang ini bisa mengalami deprivasi absolut. Adapun orang-orang yang masih memiliki pekerjaan bisa saja merasa penghasilan mereka tidak mencukupi , sehingga di dalam hati mereka merasakan deprivasi relatif. Apalagi ketika melihat masih banyak pihak di berbagai media, terutama media sosial, terus mempertontonkan gaya hidup mewah nan hedonis.
Pada gilirannya, orang-orang yang merasakan deprivasi relatif, apalagi absolut, menjadi mudah tersinggung dan tersulut emosinya. Sehingga, satu lecutan kata atau perbuatan tak patut dari seseorang bisa membuat mereka gelap mata dan melakukan tindakan kekerasan.
Tiga solusi
Oleh karena itu, alarm potensi tingkat pembunuhan tinggi tidak boleh kita abaikan. Setidaknya ada tiga solusi yang bisa ditempuh. Pertama, pemerintah mesti memastikan tidak terjadi deprivasi absolut maupun relatif selama masa penurunan ekonomi. Pemberian bantuan sosial secara cepat dan tepat sasaran menjadi niscaya. Kelambanan akan berujung pada deprivasi absolut, sementara ketidaktepatsasaran akan bermuara pada kecemburuan ekonomi yang membuahkan deprivasi relatif.
Kedua, masyarakat yang masih berpenghasilan memadai di masa ekonomi sulit seperti saat ini harus menggalakkan semangat karitas (charity) dan filantropi untuk membantu sesama warga negara yang sedang kesusahan. Jika dilakukan secara massal, gerakan filantropi ini tentu bisa mengurangi kemungkinan deprivasi.
Ketiga, kita semua sebagai individu mesti belajar menahan diri dalam berperilaku dan berkata-kata. Kondisi ekonomi yang rawan ditambah musim tidak menentu yang melanda Indonesia tentu akan membuat "aura" pribadi menjadi gerah atau sumpek. Jika kita tidak menyikapi situasi ini dengan baik, kesumpekan tersebut bisa terejawantahkan menjadi kata-kata atau perilaku tidak patut yang
justru menjadi senjata makan tuan. Komitmen untuk mengasah kepatutan berperilaku dan mengasah kecerdasan emosional-spiritual (emotional quoetient menurut Daniel Goleman dan spiritual quotient menurut Dahneh Zohar) adalah keharusan. Kalau tidak, fenomena victim-precipitated murder mungkin saja akan merajalela.