Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Multikulturalisme Pangan dan Pemanfaatan Pekarangan, Dua Solusi Bagi Krisis Pangan

28 Januari 2025   18:05 Diperbarui: 28 Januari 2025   18:12 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi keragaman pangan (Sumber: lifestyle.sindonews.com)

Salah satu ancaman besar bagi ketahanan nasional kita saat ini adalah potensi krisis pangan, baik di tingkat dunia maupun lokal. Pasalnya, permintaan akan pangan bakal terus meningkat akibat setidaknya dua hal. Pertama, sebagai antisipasi meningkatnya ketidakpastian pasokan akibat hal-hal seperti bencana  alam, anomali iklim yang membuat panen sulit diprediksi, krisis kawasan seperti konflik Rusia --Ukraina dan Israel-Palestina yang membuat seret pasokan impor sejumlah komoditas, dan lain sebagainya.

Kedua, pangan menjadi objek spekulasi. Ini terutama terjadi ketika perekonomian negara-negara secara umum melambat dan pasar finansial global tidak stabil. Dana yang sebelumnya beredar di sektor finansial kini mencari obyek investasi baru untuk kemudian menemukan komoditas pangan sebagai obyek spekulasi yang menggiurkan.

Jadi, jika kita tidak waspada, kedua faktor di atas akan kian bermuara pada rentannya ketahanan pangan kita. Karena itu, kita harus memperkuat ketahanan sekaligus kedaulatan pangan kita. Artinya, dari segi ketahanan, kita harus memastikan stok pangan kita cukup bagi seluruh rakyat. Sementara dari segi kedaulatan, kita mesti berupaya memenuhi kebutuhan pangan melalui produksi lokal. Merujuk Sri Ambarwati (Nusantara dalam Piringku, Gramedia, 2019), kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan hak atas pangan yang bergizi baik dan selaras dengan budaya setempat, dihasilkan melalui sistem pertanian ramah lingkungan, dan berkesinambungan.

Multikulturalisme pangan

Tak ayal, kita semua harus merenungkan solusi terobosan. Setidaknya, ada dua solusi. Pertama, kita harus mulai mengubah paradigma monokulturalisme pangan ke multikulturalisme pangan. Menurut Vandana Shiva (Dari Bioimperalisme ke Demokrasi, YOI, 1992), monokulturalisme pangan mengandalkan sumber pasokan pangan hanya dari satu atau sedikit sumber. Dalam konteks Indonesia, kita mengutamakan pasokan karbohidrat selama ini hanya dari beras dan gandum semacam roti seraya melupakan sumber-sumber lain seperti singkong, kentang, ubi, dan lain-lain. Alhasil, ketika komoditas beras dan gandum langka karena berbagai faktor, kita kelabakan dan harus membayar mahal jika kebutuhan itu harus dipenuhi lewat impor.

Monokulturalisme pun terjadi dari segi pasokan protein hewani. Yaitu, kita hanya tergantung pada hewan ternak atau unggas seperti kambing, sapi, dan ayam untuk mencukupi kebutuhan protein hewani. Akibatnya, ketika terjadi masalah sumber pasokan, kita kewalahan. Padahal, merujuk Andreas Maryoto (Jejak Pangan, Penerbit Kompas, 2009), banyak desa kita memiliki kekayaan kuliner istimewa. Misalnya, di Kecamatan Ponjong, Yogyakarta, nyaris semua makanan berasal dari daerah itu sendiri. Mengagetkannya lagi, masyarakat di sana sudah terbiasa memakan belalang, yang biasanya digoreng atau dibacem. Belakangan, riset menunjukkan
bahwa belalang memiliki kandungan protein tinggi.

Sebagai tambahan, beberapa daerah di Sumatra Utara terbiasa mengonsumsi serangga, seperti belalang, capung, dan jangkrik. Kelebihan lainnya, serangga memiliki efek rumah kaca kecil terhadap lingkungan jika dibandingkan 18 persen emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan sektor peternakan, termasuk untuk produksi daging. Sebab, berdasarkan konsep food miles yang menghitung jarak perjalanan makanan dari tempat asal bahan bakunya ke meja makan, konsumsi makanan lokal---termasuk serangga lokal---menghemat distribusi makanan dan bahan bakar sekaligus mengurangi pencemaran. Tinggal, bagaimana mengemas sumber pangan alternatif ini dalam bentuk yang lebih menarik, higienis seraya memperhatikan aspek halalnya untuk masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim.

Kedua, memberdayakan segenap potensi masyarakat untuk memperkuat ketahanan dan kedaulatan pangan. Salah satu jalan konkretnya, merevitalisasi fungsi strategis pekarangan rumah. Maksudnya, merevitalisasi fitrah pekarangan sebagai alat bertahan hidup. Sebagaimana dikemukakan Paramita R. Abdurrachman dalam Bunga Angin, Portugis di Nusantara (2008), fungsi pekarangan sebagai alat bertahan hidup dirintis oleh kedatangan para pelaut Portugis abad ke-16 yang membuat pemukiman di sejumlah tempat. Kala itu, para pelaut tersebut menanami pemukiman atau benteng sekitar dengan berbagai tanaman. Mereka pun mengolah pekarangan penduduk pribumi demi menghasilkan tanaman pangan untuk bertahan hidup. Kemudian, kedatangan bangsa lain, seperti Belanda, melengkapi diperkenalkannya ikan untuk makanan dalam kolam di pekarangan.

Kebiasaan bangsa Portugis dan Belanda itu sempat lama dilestarikan oleh bangsa Indonesia. Terlihat dari fakta tidak lama di masa lalu kita masih bisa melihat pekarangan keluarga umumnya beraneka warna dengan kehadiran pohon kelapa, tanaman obat-obatan, ikan lele di kolam, dan lain-lain. Sayangnya, fungsi pekarangan seperti itu terbengkalai sehingga pekarangan tak lagi menjadi petak lahan berdayaguna strategis. Ironis karena pekarangan dapat menjadi wahana keanekaragaman hayati (biodiversity) untuk melengkapi pemenuhan segala kebutuhan hidup manusia, termasuk kebutuhan pangan dan kesehatan.

Jadi, alangkah baiknya jika pekarangan rumah kembali menyajikan produk komplet, mulai dari tanaman obat-obatan, tanaman pangan, dan juga hewan untuk disantap. Misalnya, pekarangan mesti memiliki tanaman obat-obatan, taruhlah kumis kucing, daun sirih, sereh, dan lain-lain sehingga bila suatu saat ada anggota keluarga yang sakit, mereka mudah mendapatkan obat. Pekarangan pun bisa ditanami ubi, pepaya, atau singkong untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Plus, pekarangan bisa dilengkapi kolam untuk menanam ikan lele, gurami, mujair, dan sebagainya yang bisa disantap guna memenuhi kebutuhan protein hewani. Dengan
demikian, masalah pangan dalam skala mikro bisa dipenuhi secara mandiri oleh keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun