Rasanya hampir semua orang Indonesia yang pernah membaca sejarah akan paham bahwa cikal bakal mentalitas dan kesadaran modern bangsa ini selalu identik dengan seorang pahlawan bernama dr. Soetomo, pendiri Boedi Oetomo. Namun yang belum semua orang tahu, Soetomo sejatinya juga seorang ekonom ulung. Sebagaimana diungkapkan dalam tesis Savitri Prastiti Scherer---cucu dr. Soetomo sendiri---di Cornell University berjudul Keselarasan dan Kejanggalan (Sinar Harapan, 1985), Soetomo secara aktif terlibat dalam pembangunan koperasi desa; Rukun Tani; pembangunan bank pribumi pertama sekaligus cikal-bakal dari Bank Sentral (Bank Indonesia/BI)---yaitu Bank Nasional Indonesia---dan banyak usaha bank koperasi.
Oleh karena itu, di tengah situasi pelemahan daya beli dan kesulitan ekonomi di Indonesia, menarik bagi kita untuk menggali kembali pemikiran Soetomo seputar ekonomi yang jarang tersentuh. Sebagai awal, paham ekonomi yang melatarbelakangi tindakan Soetomo membentuk sejumlah lembaga ekonomi modern itu sebenarnya paralel dengan satu aliran ekonomi kontemporer bernama ekonomi
sosial.
Meski belum pasti benar apakah Soetomo akrab dengan literatur mengenai ekonomi sosial, nyata bahwa ikhtiar ekonomi Soetomo di atas minimal menggemakan paham sezamannya tersebut. Ekonomi sosial adalah paham yang digagas oleh Sismondi (1773-1842) dan John A. Hobson (1859-1942) untuk mengkritik paham ekonomi liberal yang dimotori Adam Smith. Caranya, paham ini merintis sintesa awal antara kapitalisme liberal dan sosialisme. Yaitu, keduanya mengakui hak milik pribadi
seperti kapitalisme liberal---tidak seperti sosialisme yang alergi dengan kata ini---sekaligus bercorak sosialisme dengan menonjolkan peranan negara sebagai agen intervensi.Â
Sebagaimana diuraikan Mikhael Dua dalam Filsafat Ekonomi (Kanisius, 2008), Sismondi dan Hobson menjelaskan bahwa ekonomi sosial merupakan suatu sistem ekonomi yang didasarkan pada prinsip kebaikan bersama. Artinya, produksi barang dan layanan harus ditangani sedemikian rupa demi memaksimalkan kemakmuran manusia.
Berdasarkan konsep ekonomi sosial, kebaikan bersama diartikan sebagai kepentingan bersama anggota masyarakat. Jadi, tugas ekonomi sosial adalah memberikan kesempatan kepada setiap anggota masyarakat untuk merealisasikan kepentingan bersama sehingga kebutuhan dasarnya sebagai anggota masyarakat terpenuhi. Seturut prinsip tersebut, ekonomi sosial mengusulkan agar seluruh kebijakan ekonomi mengedepankan prinsip persamaan hak dan kedudukan moral bagi setiap warga negara.Â
Maka itu, ekonomi sosial dijuluki sebagai ilmu normatif. Atau, merujuk Ace Partadiredja dalam pidato pengukuhan guru besar ekonominya di FE UGM pada 1981, sebagai Ekonomika Etik. Sebab, ilmu ini mencari norma bagi kebijakan dan institusi ekonomi yang baik demi menjamin kebaikan bersama. Berbeda dari ekonomi liberal yang mengedepankan unsur rasionalitas dan manfaat, ekonomi sosial boleh dibilang mengedepankan unsur moralitas dan martabat.
Membangun Bangsa yang Jaya
Paham ekonomi di ataslah yang digaungkan oleh Soetomo. Bagi Soetomo, sebagaimana ia ungkapkan dalam esai "Kewajiban dan Gamelan" (dalam buku Kenang-kenangan, Sinar Harapan, 1984), setiap orang itu bagaikan pemain gamelan yang masing-masing memiliki fungsi dan tugasnya. Di sisi lain, kewajiban terpenting seseorang dalam cintanya pada tanah air adalah melaksanakan pekerjaan membangun negeri dengan memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Beranjak dari kerangka pikir ini, Soetomo lantas menambahkan dalam esai "Maju Bersama-sama untuk Bekerja" bahwa "setiap golongan mempunyai kewajiban sendiri-sendiri yang dapat berguna bagi kemajuan bersama ... setiap orang bersedia memperlihatkan keberaniannya untuk bekerja bagi pergerakan nasional."