Google dan Apple merupakan dua merek raksasa di bidang teknologi informasi yang saling bersaing sengit. Dari segi operating system, OS Apple dan Android adalah kompetitor berat. Pada 2024 lalu, keduanya juga bersaing dalam mengeluarkan merek smartphone, yaitu Apple dengan iPhone 16 dan Google dengan Pixel 9.
Konflik Mikrokosmos sebagai konflik filosofis
Akan tetapi, di atas itu semua, ada satu makna filosofis menarik yang perlu dicermati dari persaingan kedua jawara teknologi tersebut. Kompetisi antara keduanya pada hakikatnya adalah pengejawantahan dari perseteruan antara dua daya (faculty) atau piranti dalam diri manusia sendiri. Yakni, antara akal-budi (rasio) dan intuisi, antara fungsi dan fantasi (imajinasi), dan antara kalkulasi dan visi.Â
Piranti pertama diwakili Google, sementara piranti kedua diwakili Apple. Dengan kata lain, 'perang' Google dan Apple bisa diartikan pula sebagai konflik filosofis mikrokosmos alias perseteruan dalam diri manusia, yang kerap diibaratkan sebagai miniatur dunia
(mikrokosmos). Di satu sisi, Google adalah reinkarnasi nyata dari akal-budi yang begitu diagungkan manusia. Tengok saja, dua pendiri Google Larry Page dan Sergei Brin adalah sama-sama penggondol gelar doktor (PhD) dari Stanford University. Sedari awal, kedua orang ini memang tipe kutu buku sejati dengan hanya satu minat dan gairah keilmuan: ilmu komputer. Mereka adalah penggila sains dan teknologi yang mendewakan akal-budi, fungsi, dan kalkulasi. Artinya, mereka berparadigma positivistis yang memercayai kenyataan itu memiliki hukum-hukum alamnya sendiri dan tugas manusia-lah melalui akal pikirannya mencari hukum-hukum tersebut lewat kalkulasi cermat terhadap berbagai fakta. Singkatnya, Page dan Brin merumuskan produk fenomenal mereka, mesin pencari Google, dengan penggalian terhadap apa yang dibutuhkan orang.
Sebagaimana diceritakan David A. Vise dalam buku larisnya, Kisah Sukses Google (Gramedia, 2007), Page dan Brin mendapati bahwa orang membutuhkan satu piranti yang bisa menemukan informasi cepat di tengah belantara informasi di dunia mayantara (cyberspace). Dari penggunaan akal-budi itulah, Page dan Brin merumuskan fungsi yang dapat memenuhi kebutuhan dan kemudian melakukan kalkulasi untuk membuat produk seraya menghitung kelayakan bisnis ide mereka tersebut. Sesudah semua itu tercapai,
lahirlah Google yang kemudian menjadi legenda dalam dunia TI.
Sementara itu, Apple dengan almarhum Steve Jobs sebagai sang pendiri dan mantan CEO eksentrik merupakan personifikasi dari elemen intuisi, imajinasi, dan visi dalam diri manusia. Jobs adalah mahasiswa slebor dari Stanford yang memiliki intuisi cemerlang bahwa suatu hari nanti orang akan membutuhkan personal computer (PC). Asal tahu saja, kala Jobs merumuskan intuisinya pada 1976,
komputer saat itu dipersepsikan sebagai mesin penghitung raksasa yang hanya cocok untuk perusahaan berskala besar, bukan untuk pribadi. Â Dengan bekal naluri, kenekatan dan visinya, Jobs ingin membongkar segala asumsi umum itu.
Berbeda dari Page dan Brin yang berangkat dari penggalian kebutuhan konsumen, Jobs justru ingin "memaksakan" intuisinya kepada konsumen. Sebab, ia memiliki intuisi, imajinasi, fantasi dan visi bahwa di masa depan nanti masyarakat akan melek teknologi dan membutuhkan komputer di rumah mereka masing-masing. Tanpa peduli dengan realitas faktual di zamannya, Jobs bersama sahabatnya Steve Wozniak berusaha mewujudkan intuisi, fantasi, dan visi mereka. Lahirlah personal computer (PC) produksi massal pertama di dunia, Apple I dan Apple II, dua produk yang laris bukan main pada akhir 1970 dan awal 1980-an.
Bersenjatakan piranti intuisi, fantasi, dan visi yang sama pulalah Jobs selalu mencetuskan ide-ide gemilang. Tahukah Anda bahwa Jobs di Stanford sempat mengambil mata kuliah kaligrafi? Dan, itu ternyata berguna saat Jobs dan Wozniak meluncurkan font kaligrafi pertama di dunia untuk PC! Hal yang sama terus berlanjut dalam bentuk deretan produk visioner Apple lainnya: iMac, iPod, iPhone, iPad, dan lain sebagainya.
Akhirul kalam, pertarungan Apple versus Google senantiasa menjadi ajang kontestasi seru. Apalagi, perseteruan antara Apple versus Google secara filosofis bermakna sebagai pertarungan abadi antara kedua piranti yang sama-sama vital dalam diri manusia. Di satu sisi, ada piranti akal budi yang menganak-pinakkan elemen fungsi dan kalkulasi. Di sisi lain ada piranti intuisi, yang menurunkan elemen imajinasi, fantasi dan visi.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI