Belum lama ini, masyarakat Indonesia dihebohkan oleh tantangan yang dilontarkan oleh YouTuber Ferry Irwandi bahwa siapa saja yang berhasil memberikan santet kepadanya justru akan mendapatkan hadiah sebuah mobil mewah. Akhir ceritanya adalah Ferry tidak mendapatkan santet, tapi kontroversi masyarakat seputar santet itu nyata atau tidak terus berlangsung. Ada yang menuduh Ferry seakan-akan tidak mempercayai hal gaib yang sudah diajarkan agama, tapi ada juga yang membelanya dengan mengatakan masyarakat kita harus mulai rasional dalam menyikapi segala sesuatu. Jangan apa-apa dinisbatkan kepada hal-hal gaib. Ibaratnya, apa-apa santet, apa-apa santet. Â
Saya sendiri berpendapat bahwa kita tetap harus meyakini keberadaan fenomena di balik dunia empiris-indrawi, sesuai dengan karakteristik spiritual masyarakat kita dan juga sesuai dengan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun, kita tetap harus berkepala jernih dan mengedepankan logika dalam menyikapi segala sesuatu, termasuk fenomena mistis. Pasalnya, kemampuan berpikir logis dan kritis adalah prasyarat bagi suatu masyarakat untuk berkembang dari segi ilmu pengetahuan dan juga peradaban.
Mentalitas bangsa
Tak kurang dari Tan Malaka dalam Madilog (dalam Tan Malaka,, KPG, 2017), misalnya, mengemukakan bahwa mulai periode Yunnan sampai imperialisme Jepang, Indonesia tidak memiliki riwayat kesejarahan sendiri selain perbudakan, sehingga tak mengherankan bila budaya bangsa ini berubah menjadi pasif dan menafikan sama sekali penggunaan asas eksplorasi logika sains. Artinya, Tan Malaka ingin mengatakan bahwa alam pikir bangsa Indonesia secara umum masih dicengkeram kuat oleh mitos dan takhayul yang cenderung menghambat perkembangan pengetahuan serta teknologi. Dengan kata lain, negara Indonesia yang bangsanya terlalu percaya fenomena supranatural akan sulit untuk meraih kemajuan pesat dalam kehidupan peradaban modern sebagaimana sudah dicapai oleh negara-negara maju.
Alam pikir yang terlalu kuat dipenuhi mitos dan takhayul ini juga sempat disesalkan oleh Mochtar Lubis. Dalam pidato kebudayaannya (kemudian dibukukan menjadi Manusia Indonesia, YOI, 2008) di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977, wartawan kawakan ini mengemukakan enam stereotip sifat utama manusia Indonesia, yaitu munafik dan menampilkan sikap ABS (Asal Bapak Senang), enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, berperilaku feudal, percaya takhayul, berbakat seni, dan lemah wataknya. Bahkan, tiga tahun sebelumnya, begawan antropologi Prof, Koentjaraningrat mengungkapkan bahwa mentalitas manusia Indonesia secara umum (Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia, 1974) bercorak, antara lain, tak percaya kepada diri sendiri, tak mau bertanggung jawab, dan bermentalitas menerabas.
Pendapat-pendapat dari tiga pemikir besar Indonesia di atas begitu paralel karena jika kita terlalu percaya mitos dan takhayul, maka secara otomatis kita akan punya ketergantungan lebih kepada kekuatan di luar diri kita alih-alih kepada potensi kita sebagai manusia yang memiliki kapasitas akal budi, kreativitas, dan daya inovasi, Akibatnya, kita menjadi kurang mandiri sebagai pribadi dan enggan bertanggung jawab atas perbuatan kita sendiri karena toh segala sesuatu terjadi karena entitas adikodrati yang berada di luar jangkauan akal budi dan panca indra kita. Ujung-ujungnya, masyarakat berpola pikir mistis dan takhayuli itu lebih suka meraih prestasi atau sukses bukan lewat ikhtiar kerja keras pribadi, melainkan lewat cara menerabas, seperti: pergi ke dukun, menjalani laku pesugihan (ritual mistis untuk bisa sugih alias kaya), meminta penglaris untuk usaha, mencari jimat, menyantet lawan bisnis, dan sebagainya. Artinya, dengan pola pikir demikian, semakin jauhlah cita-cita negeri ini menjadi negara yang menguasai iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan imtak (iman dan takwa).
Lebih jauh, pola pikir gandrung mitos yang sudah berurat akar seperti ini akan punya bahaya besar ketika bertemu dengan arus besar perkembangan teknologi digital. Sebab, pesatnya kemajuan teknologi digital dan media sosial tanpa dibarengi dengan pola pikir logis yang kompatibel dengan itu justru akan melahirkan masyarakat yang mudah kebingungan oleh banjir bandang informasi. Sehingga, masyarakat jadi mudah termakan kabar bohong (hoax), pencemas, dan mudah tertipu oleh produk-produk yang menjanjikan kesuksesan instan atau seketika. Kita pun menjadi bangsa yang lemah dan kalah langkah jauh dengan bangsa-bangsa lain yang sudah mulai mengejar ketertinggalan di bidang sains-teknologi.
Mulai berpikir logis
Oleh karena itu, supaya tidak mudah tergilas, tidak ada jalan lagi bagi bangsa ini selain mulai menanamkan dan menginternalisasi pola pikir ilmiah (scientific), logis, dan kritis sejak dini. Â Karena itu, sekolah-sekolah harus mulai fokus mengajari anak didik untuk mengerjakan proyek-proyek sains sekaligus membekali siswa dengan pelajaran logika formal dan sejarah filsafat atau pemikiran. Pelajaran logika formal minimal memiliki konten silogisme klasik Aristoteles di mana siswa diajari untuk mengambil konklusi atau kesimpulan yang valid (sahih) dari dua premis yang tepat. Kemudian, pemberian materi sejarah pemikiran atau filsafat akan memapar siswa dengan beraneka masalah abstrak maupun konkret serta dengan metode logis-kritis-komprehensif untuk merespons masalah-masalah tersebut.
Berbekal pola pikir logis yang ditanamkan sejak dini, semoga bangsa kita bisa melepaskan diri dari ketergantungan terlalu besar pada pola pikir mitos dan mulai memasuki era rasional untuk bisa bangkit sebagai bangsa besar yang bisa bersaing dengan negara-negara maju sekalipun.