Bulan Ramadan akan datang sebentar lagi. Umat Islam pun bersiap menjalani ibadah puasa. Selain itu, mereka juga akan melaksanakan zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal (harta). Khusus untuk konteks Indonesia, bulan ini dapat pula menjadi momentum untuk ikut andil mengatasi salah satu masalah nasional kita, yaitu utang.
Memang, utang sudah menjadi isu nasional. Pada Agustus 2024, jumlah utang paylater saja mencapai Rp 7,99 triliun, naik 89,20 persen dari 2023. Belum lagi utang di luar paylater. Masalahnya, utang sering membuat orang tergerus rasa percaya dirinya karena mereka merasa tidak berdaya secara ekonomi. Rasa percaya diri itu akan kian hancur apabila mereka kesulitan membayar hingga
harus menghadapi kejaran para penagih utang. Makanya, sering kita dengar berita tragis ada orang sampai mengakhiri hidup karna rasa frustrasi tidak mampu membayar utang dan dikejar para penagih. Di sisi lain, orang memang kadang tidak terelakkan untuk berutang demi memenuhi kebutuhan hidup yang tidak bisa dicukupi oleh penghasilan.
Oleh karena itu, masalah utang ini harus dicarikan solusinya. Dalam hal ini, dana zakat bisa menjadi salah satu sumber alternatif untuk meringankan masalah utang . Pada tahun 2023 saja, misalnya, total dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) di seluruh Indonesia mencapai Rp 32 triliun atau meningkat tajam sebesar 43,74 persen dari angka 2022. Tentu ini jumlah signifikan yang bisa
diberdayakan untuk mengatasi berbagai masalah sosial-ekonomi rakyat, termasuk masalah utang.
Apalagi, zakat sebagai rukun Islam ketiga memang merupakan ibadah maliyah ijtima'iyyah (berdimensi ekonomi dan sosial) yang salah satu tujuannya adalah untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara orang-orang kaya dan orang miskin maupun mustahik
(yang berhak menerima zakat) lainnya. Adapun kriteria mustahik terdiri dari delapan golongan, yaitu: fakir, miskin, amil (orang yang melaksanakan pengumpulan zakat), mualaf (orang yang baru memeluk agama Islam), riqab (pembebasan budak), gharimin (orang yang berutang), fi sabilillah (perorangan atau badan yang bertujuan menegakkan syiar agama atau kebutuhan umat), dan ibnu sabil (musafir yang melakukan perjalanan bertujuan positif).
Dari kriteria di atas, kita bisa lihat bahwa orang yang berutang juga berhak menerima zakat, bahkan termasuk yang diutamakan. Artinya, ada potensi bagi para penyalur zakat dalam memberdayakan dana zakat untuk melunasi utang-utang orang yang kesulitan membayarnya.
Bahkan, merujuk fatwa al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta' Saudi Arabia, tujuan utama zakat sebenarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan para fakir miskin dan membayari utang para gharim.
Kriteria
Namun, tentu kita perlu menelaah syarat-syarat apa yang membuat orang berutang bisa menerima zakat. Menurut Oni Syahroni dalam Fikih Muamalah Kontemporer Jilid 1 (Republika Penerbit, 2019), ada tiga kriteria gharimin yang berhak menerima zakat untuk pembayaran utang. Pertama, mereka memiliki kebutuhan dan tidak memiliki harta yang dapat melunasi utang-utangnya. Kedua, utang yang mereka punyai adalah utang dalam kebaikan atau ketaatan. Ketiga, utang mereka telah jatuh tempo.
Namun, perlu diingat bahwa zakat yang diserahkan kepada mustahik (penerima zakat) harus dapat dimiliki secara nyata. Maka itu, zakat tidak boleh diserahkan oleh muzakki (pemberi zakat) kepada mustahik langsung dengan cara pembebasan hutang. Fatwa MUI DKI Jakarta No. 48/Fatwa/MUI-DKI/II/2001 memberikan ilustrasi sebagai berikut (Himpunan Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta 2000-2003, Komisi Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta, 2005). Misalkan ada seorang pedagang asongan (ini termasuk utang dalam kebaikan karena digunakan untuk kegiatan usaha produktif mencari nafkah) meminjam uang kepada seorang Muslim kaya. Karena pihak
debitur (pedagang asongan) tidak mampu membayar utang jatuh temponya akibat krisis keuangan atau bangkrut, maka pihak kreditur bermaksud memberikan zakat kepadanya dengan cara pembebasan utang. Menurut hukum Islam, ini tidak dibenarkan. Cara yang benar adalah pihak kreditur harus menyerahkan zakatnya terlebih dahulu kepada debitur. Sesudah menerima zakat secara fisik, barulah sang debitur menggunakan dana zakat itu untuk membayar hutang kepada krediturnya.
Selain disalurkan langsung kepada para gharim untuk membayari utang, dana zakat untuk mengatasi permasalahan utang sebenarnya bisa juga didistribusikan kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memiliki tujuan mengadvokasi penyelesaian masalah utang. Penyaluran jenis ini tergolong sebagai zakat untuk fi sabilillah karena LSM semacam itu bisa dikategorikan sebagai lembaga yang bergerak untuk kepentingan umat. LSM-LSM bersangkutan kemudian dapat menggunakan dana zakat tersebut untuk melakukan kampanye literasi finansial kepada rakyat supaya bisa berutang secara bijak, merencanakan keuangan pribadi secara baik,
menghindari utang konsumtif, maupun mencari sumber pendanaan yang lebih aman. Juga, untuk kepentingan edukasi keuangan lainnya. Ini sesuai dengan salah satu kriteria lebih rinci fi sabilillah dari Oni Sahroni (Fikih Muamalah Kontemporer Jilid 4, Republika Penerbit, 2020), yaitu lembaga riset, kajian, dan pendidikan yang memberikan edukasi kepada masyarakat maupun memastikan suatu kebijakan tepat sasaran.