Pengamat militer sekaligus kritikus film terkemuka Salim Said pernah berteori (Prisma 1, 1990, Budaya Pop Budaya Massa) bahwa produk seni, termasuk film, mencerminkan realitas masyarakatnya. Nah, tesis sederhana ini relevan jika dikaitkan prestasi olahraga kita! Lihat saja, di tengah terpuruknya prestasi dunia olahraga kita secara umum, langka pula produk film kita yang mengangkat tema olahraga, terutama yang berbasiskan kisah nyata atlet-atlet berprestasi kita.
Dalam genre sinema, film yang mengangkat tema berdasarkan kisah sosok-sosok nyata yang menginspirasi disebut biopik (biopic, singkatan dari biographical picture alias film biografis). Dalam kancah perfilman dunia, kisah nyata (true stories) menjadi mataair tak kunjung habis bagi inspirasi menelurkan satu produk sinematik.
Bahkan secara lebih spesifik dalam dunia olahraga, film biopik di sejumlah negara memiliki peranan strategis sebagai pemantik semangat berprestasi bagi suatu bangsa. Pijakan teoretisnya adalah penelitian psikolog David McClelland berjudul "The Need for Achievement" (terjemahan Ismail Marahimin, Majalah Titian, 1972). Di situ, McClelland membandingkan bangsa Inggris dan Spanyol yang sama-sama adidaya pada abad ke-16, tapi kemudian Spanyol lambat laun melemah sementara Inggris tetap perkasa.
Ternyata, menurut McClelland, rahasia Inggris adalah tingginya ternyata semangat berprestasi atau need for achievement (n-Ach) bangsa Inggris akibat suntikan dari begitu banyak cerita, dongeng, dan narasi dari khazanah budaya Inggris yang menyuntikkan virus berprestasi. Sementara itu, cerita dan produk budaya Spanyol tidak memiliki virus tersebut.
Dari sinilah, kita mafhum mengapa bangsa yang kian maju prestasi olahraganya ternyata juga memiliki khazanah film biopik---bagian dari folklor modern---yang berlimpah. Ambil contoh Amerika Serikat. Negeri ini dengan mesin Hollywood-nya seakan tidak pernah kekurangan film biopik olahraga yang menginspirasi dan menyemangati.
Kita bisa tonton film Cool Runnings (1993) yang menceritakan perjuangan empat orang putra Jamaika yang terbiasa hidup di daerah tropis tapi justru mampu menorehkan prestasi di Olimpiade Musim Dingin Kanada 1988.Â
Ada lagi film Cinderella Man (2005) yang mengisahkan jatuh bangun petinju legendaris James Braddock, diperankan secara gemilang oleh Russell Crowe, merebut gelar juara dunia kelas berat demi menyelamatkan keluarganya dari kemiskinan. Atau, film Miracle (2004) yang mengisahkan prestasi fenomenal tim hoki AS mengalahkan tim unggulan Uni Soviet untuk merebut medali emas Olimpiade musim dingin 1980.
Oleh karena itu, Indonesia jelas harus kian banyak memproduksi film biopik olahraga guna mendongkrak prestasi. Keunggulan film biopik adalah kisahnya yang nyata akan menginspirasi penonton untuk menyadari betapa tidak ada hal yang tidak mungkin dalam dunia olahraga.Â
Sejauh ini, sepengamatan saya baru ada tiga film biopik olahraga di Indonesia. Pertama, film 3 Srikandi (2016) arahan Iman Brotoseno yang mengangkat kisah trio pemanah Lilies Handayani, Kusumawardhani, dan Nurfitriyana meraih medali perak pertama Indonesia di Olimpiade Seoul 1988 di bawah bimbingan pelatih Donald Pandiangan.Â
Kedua, film Susi Susanti: Love All (2019) karya sutradara Sim F dan dibintangi oleh Laura Basuki sebagai Susi Susanti. Film ini mengangkat kisah hidup Susi Susanti dan sang suami, Alan Budikusuma, meniti karier sebagai atlet badminton dan akhirnya meraih medali emas pertama bagi Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992.