Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Manchester United Masih Tertatih-tatih, Perlu Konsep Kesabaran Revolusioner

27 Januari 2025   13:15 Diperbarui: 27 Januari 2025   12:44 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manchester United ketika menundukkan Fulham 1 - 0 pada 27 Januari 2025 (Sumber: jambiindependent.disway.id)

Meski sudah menderita bertahun-tahun karena paceklik trofi, terutama gelar Liga Premiere, Manchester United (MU) alias si Setan Merah belum pernah sesakit kondisinya seperti di musim 2024/2025 sekarang. Bayangkan saja, saat tulisan ini dibuat pada 27 Januari, MU hanya menduduki peringkat ke-12 dari 20 tim di Liga Inggris. Sungguh prestasi yang memilukan. Padahal, MU sudah beberapa kali gonta-ganti pelatih, mulai dari Solksjaer sampai Ten Hag dan, yang terbaru, Ruben Amorim. Stadion Old Trafford pun berhenti menjadi stadion angker yang menggentarkan nyali lawan. 

Mengapa selepas pensiunnya Sir Alex Ferguson, tim Setan Merah ini terpuruk, bahkan jauh di bawah para pesaing tradisionalnya seperti Chelsea, Arsenal, Liverpool, Manchester City, dan Tottenham Hotspurs? Jawabannya adalah karena manajemen MU mencampakkan resep kesuksesan Ferguson berbekal konsep yang saya sebut sebagai 'kesabaran revolusioner'.

Kesabaran revolusioner

Sebagaimana dikemukakan Sukardi Rinakit dalam Tuhan Tidak Tidur (2014), "kesabaran revolusioner" merujuk pada sosialisasi, pengalaman hidup serta tebalnya cita-cita dan nilai budaya yang dianut para tokoh suatu kelembagaan. Dengan kata lain, kesabaran revolusioner itu tumbuh karena formulasi unik dari pengalaman hidup yang penuh tekanan dan internalisasi (penghayatan) nilai-nilai kultural institusi termaksud.

Berpijak pada konsep ini, kegagalan MU mempertahankan status terhormat di Liga Inggris haruslah dibaca sebagai kegagalan
Si Setan Merah mengamalkan kesabaran revolusioner. MU terjebak pada pola pikir instan bahwa Ferguson akan cepat tergantikan. Padahal, kesuksesan hanya bisa diraih atau dipertahankan jika manajemen tim menjalankan pembibitan pemain-pemain muda.  

Para pengganti Ferguson mestinya ingat bahwa Sir Alex selalu menggembleng pemain dengan disiplin dan latihan fisik tanpa kenal kompromi. Di awal karier kepelatihannya bersama MU, misalnya, Sir Alex mewarisi satu tim yang penuh dengan pemain bermental lemah yang kurang bugar dan suka mabuk-mabukan. Tanpa kenal ampun, Sir Alex menjalankan latihan spartan bersama asisten pelatih Archie Knox (Alex Ferguson, My Autobiography, 2013).  Siapa saja yang berani mangkir atau membangkang akan "disikat." 

Disiplin ini terus berlangsung selama bergenerasi. Maka itu, ada contoh Jaap Stam yang dibuang karena menyinggung sang pelatih dalam autobiografinya atau David Beckham yang sempat kena lemparan sepatu karena dianggap kurang tekun berlatih hingga menyebabkan kekalahan tim. Bahkan, pemain sekelas Cristiano Ronaldo pun di awal musimnya bersama MU sempat disuruh mencopot anting karena dianggap "kurang sopan" sebagai pemain baru. 

Jadi, Ferguson tidak terlalu suka membeli pemain-pemain yang sudah 'jadi' sebagai ujung tombak kesebelasannya. Sebaliknya, ia dengan tekun mencari bibit muda, memoles dan mengasah mereka, untuk kemudian menjadi pemain bintang yang nanti akan bisa dilego dengan bandrol harga mahal.  Maka itu, kegemaran Sir Alex adalah mencari pemain-pemain di klub gurem untuk diorbitkan sebagai bintang. Teddy Sheringham, Peter Schmeichel, Park Ji-Sung, Roy Keane, dan lain-lain adalah contoh kejelian Sir Alex.

Kemudian, Sir Alex adalah tipe pemimpin yang sangat menjaga soliditas tim dan pantang mempermalukan pemain di depan publik. Ini juga salah satu manifestasi dari 'kesabaran revolusioner.' Sesalah apa pun pemainnya atau seberapa buruk pun performa tim di pertandingan, Sir Alex akan membela pemainnya dulu di depan umum untuk kemudian menegur masing-masing secara privat atau tertutup di ruang ganti, lepas dari sorotan media. Mantan bek MU, Rio Ferdinand, dalam suatu wawancara pernah memberikan kesaksian bahwa salah satu alasan utama Sir Alex memecat kapten Roy Keane adalah karena Keane kedapatan mencerca kinerja para kompatriotnya di muka umum. Bagi Ferguson, ini pelanggaran yang tak termaafkan karena akan merusak soliditas tim. Bayangkan dengan perilaku Amorim baru-baru ini yang mengatakan di depan media secara terbuka bahwa tim MU kali ini adalah tim yang terburuk. 

Terakhir, konsep 'kesabaran revolusioner' membuat Sir Alex tidak percaya dengan sukses instan. Dia justru meyakini bahwa prestasi hanya bisa dicapai lewat konsistensi menjalankan prinsip-prinsip dasar komitmen dan kerja keras. Itu dibuktikan sendiri dengan kinerja Sir Alex yang tidak langsung luar biasa dalam musim pertamanya. Yaitu, hanya berhasil meningkatkan posisi MU dari peringkat ke-21 menjadi peringkat ke-11. Namun, perlahan tapi pasti, Sir Alex tetap bertahan dengan resep suksesnya hingga berhasil membawa timnya sekaligus dirinya pribadi menjadi legenda dengan raihan banyak trofi selama masa kepemimpinannya (1987-2013).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun