Tak bisa dipungkiri bahwa dunia digital saat ini makin mempenetrasi jauh ke dalam dunia pribadi kita. Buktinya, hampir semua orang memiliki gawai seperti tablet, laptop, dan telepon pintar (smartphone) serta sibuk dengan semua itu.Â
Fenomena budaya ini harusnya membuat kita sebagai umat manusia waspada. Apalagi mengingat bahwa para  pelaku bisnis digital sejatinya sedang berupaya membangun semacam "imperium digital", yang bisa menjadi semacam monster besar yang akan menindas kita. Katakanlah semacam monster Leviathan yang dibayangkan filsuf Thomas Hobbes atau seperti Big Brother dalam novel klasik George Orwell, 1984, yang bisa memantau segala gerak-gerik kita hingga dalam skala terkecil. Bisa juga ibarat sistem panoptikon yang dibayangkan filsuf Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1977) akan memantau dan mendisiplinkan segala tindak-tanduk kita, seperti mendisiplinkan kita untuk selalu terpaku pada gawai.
Penguasaan ekonomi oleh imperium digital terjadi dalam skala masif, juga dengan daya rusak dahsyat, karena ia menjalankan prinsip "ekonomi atensi." Thomas Hidya Djaya (2018) mengemukakan, ekonomi atensi merujuk pada pemunculan tanpa henti iklan yang membuat kita sulit memusatkan perhatian pada aktivitas atau pembicaraan yang sedang kita lakukan. Di berbagai tempat strategis, misalnya, kita dipaksa untuk menonton iklan atau "pesan sponsor". Sebab, dunia digital menyediakan
ruang luas bagi upaya pengiklanan intrusif dengan mengandalkan hasrat penggunanya untuk mengakses konten digital yang dikehendaki.
Kita lihat betapa platform-platform digital mempromosikan apa yang mendapatkan atensi paling besar. Dampak buruk dari hal ini adalah kian dalamnya intrusi iklan ke ruang pribadi karena bisa terjadi kapan saja tanpa diminta. Juga, intrusi ke ruang publik karena teknologi digital kerap membuat pengguna sibuk sendiri dengan gawainya bahkan di saat ia sedang bersama orang lain. Dengan kata lain, ekonomi atensi telah merampas produktivitas manusia, membuat manusia mudah teralih perhatiannya atau terdistraksi, merangsang pembelian impulsif (impulsive buying) yang konsumtif karena hanya mementingkan keinginan ketimbang kebutuhan, dan juga menggerus kemanusiaan kita sekaligus fitrah kita sebagai makhluk yang senang bersosialisasi dengan sesama (homo socius). Meminjam istilah Habermas, inilah bahayanya apabila domain system telah menginvasi domain life-world pribadi kita (F Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Kanisius, 1993).
Terkait pembelian impulsif, hal itu punya sejumlah dampak buruk dahsyat. Pertama, ia memang mendongkrak konsumsi, tapi belum tentu konsumsi itu disokong oleh daya beli yang rasional. Mungkin saja, konsumen harus berutang demi memuaskan hasrat akan komoditas hasil ekonomi atensi, padahal komoditas itu bukanlah kebutuhan utamanya, melainkan hanya keinginan. Dampaknya, masyarakat bisa terperosok ke dalam belitan utang, apalagi sekarang utang bisa mudah didapat lewat teknologi-teknologi
finansial (tekfin), yang padahal kerap menimbulkan masalah baru bagi debitur berupa bunga tinggi dan gagal bayar (default).
Bahkan lebih parah lagi, hasrat konsumsi berlebih tanpa diiringi kemampuan finansial memadai akan berujung pada orang tergoda jerat judi online (judol) dengan harapan mendapat uang cepat. Ujung-ujungnya, pencandu judol akan mengalami kesulitan keuangan lebih parah dan mendapati hubungan sosialnya dengan orang-orang terdekat hancur berantakan. Sudah berulang kali, misalnyha, kita mendengar kabar perceraian karena salah satu pasangan keranjingan bermain judol.
Pada gilirannya, konsumsi irasional berpelumaskan utang yang kadang tidak rasional itu akan menjerembabkan perekonomian secara keseluruhan pada fenomena ekonomi kepanasan (overheating economy), di mana pertumbuhan ekonomi tampak meningkat tapi dalam jangka panjang akan disusul dengan keterperosokan karena terjadinya gagal bayar secara berjamaah.
Kedua, kompetisi atensi yang mengobarkan pembelian impulsif biasanya dimenangi oleh perusahaan-perusahaan bermodal besar yang bisa melakukan punya strategi "bakar uang" besar-besaran alias mengiming-imingi banyak diskon (cash back) untuk menarik big data dan memperluas customer base. Akibatnya, volume penjualan mereka meroket dan berujung pada kesenjangan ekonomi yang kian menganga. Bertumbangannya para start-up digital di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, adalah contoh betapa
imperium digital ini sejatinya hanya berisikan segelintir perusahaan raksasa.
Lambat laun, keperkasaan perusahaan-perusahaan anggota imperium besar ini akan bermuara pada eksploitasi tenaga kerja manusia. Akibat pesanan yang melonjak, pekerja manusia akan dipaksa pontang-panting melayani pesanan, sehingga mereka mengalami penderitaan serius. Liputan Charles Duhigg di majalah New Yorker (Oktober 2019), misalnya, menunjukkan betapa kebijakan pengiriman cepat Amazon telah menimbulkan banyak kecelakaan lalu-lintas akibat supir ekspedisi yang mengebut. Juga, betapa banyak pegawai pergudangan Amazon yang harus menderita cidera sendi serius karena secara cepat harus bolak-
balik mengambil barang pesanan di dalam area gudang yang luas.
Solusi
Oleh karena itu, fenomena imperium digital yang justru memperdalam penderitaan manusia haruslah diwaspadai. Pemerintah di berbagai negara harus bekerja keras berlomba dengan waktu merumuskan regulasi-regulasi terkait pembatasan dan pengawasan bisnis daring. Sebagai contoh, di Indonesia pengawasan terhadap penyedia layanan pinjaman daring atau tekfin masih sangat lemah.