Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Prospek Jurnalisme Investigasi Sebagai Penyelamat Media Cetak

27 Januari 2025   09:19 Diperbarui: 27 Januari 2025   09:38 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jurnalisme investigasi, genre jurnalisme untuk kepentingan publik (Sumber: mijil.id)

Beberapa tahun belakangan ini, kita pasti mulai jarang menyaksikan fenomena orang membaca koran, majalah, atau tabloid dalam versi cetak. Yang ada paling kita menyaksikan pemandangan orang menatap gawai (gadget) sambil membaca berita-berita pendek atau memirsa media sosial.

Memang, sudah sepuluh tahun terakhir ini banyak versi cetak media bertumbangan. Majalah berita mingguan Gatra berhenti menerbitkan bahkan semua versi kontennya, daring maupun cetak, sejak 31 Juli 2024. Di tahun yang sama, majalah legendaris Intisari, yang sebenarnya mengawali lahirnya Grup Kompas Gramedia sehingga disebut sebagai "Sang Pemula", juga berhenti menjual edisi cetaknya. Sebelumnya, harian Republika menghentikan edisi cetak terhitung 1 Januari 2023 setelah 30 tahun terbit untuk beralih sepenuhnya ke platform digital. Koran ini menyusul langkah Koran Tempo pada 1 Januari 2021. Mereka pun mengikuti jejak harian legendaris Suara Karya, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Koran Jakarta, dan Harian/Tabloid Bola yang sudah lama menghentikan edisi cetak.

Maka itu, muncu pertanyaan: bagaimanakah masa depan media mapan seperti media cetak? Apakah media cetak benar sudah tidak lagi relevan di tengah gempuran teknologi digital? Ataukah masih ada celah bagi media cetak untuk bertahan?

Jurnalisme investigasi 

Terlepas dari deretan fakta kolapsnya begitu banyak media cetak, ternyata ada contoh sejumlah media cetak mapan yang bisa terus bertahan, yaitu harian Kompas dan majalah berita mingguan Tempo. Jika dilihat, daya tahan kedua media ini salah satunya disokong oleh satu faktor pembeda (diferensiasi) tajam: jurnalisme investigasi yang berintegritas dan eksklusif.  

Jurnalisme investigasi (investigative journalism) sendiri bisa didefinisikan sebagai upaya penggalian serta pengungkapan fakta tersembunyi yang belum diketahui publik dengan disertai fakta yang relevan. Fakta itu tersembunyi karena disembunyikan oleh orang berkuasa, baik secara sengaja maupun tidak. Selain itu, jurnalisme investigasi setidaknya mesti memiliki lima elemen. Pertama, ia mengungkap kejahatan terhadap kepentingan publik. Kedua, skala kasus yang diungkap haruslah luas dan sistematis. Ketiga, investigasi mesti menjawab semua pertanyaan penting dan memetakan persoalan secara gamblang. Keempat, jurnalisme investigasi bisa mendudukkan aktor-aktor yang terlibat secara lugas dengan bukti yang kuat. Kelima, publik terbantu oleh jurnalisme investigasi untuk memahami kompleksitas masalah serta bisa membuat keputusan atau perubahan berdasarkan liputan tersebut (Kompas.com, 30/12/2022).

Kita lihat Kompas dan Tempo sangat sering menurunkan liputan investigasi bermutu terkait kasus-kasus yang berhubungan dengan kepentingan publik. Misalnya, Kompas beberapa waktu lalu memuat reportase soal seluk-beluk proses penerimaan peserta didik baru (PPDB) lengkap dengan segala sisi negatif yang ada. Atau, Tempo berhasil menyedot perhatian masyarakat dengan liputan soal proses janggal di balik obral pemberian gelar guru besar di lingkungan kampus atau kasus pagar laut. Terbukti, liputan-liputan seperti ini disukai publik dan berhasil membuat versi cetak kedua media itu bertahan hingga sekarang.  

Apalagi memang karakter analitis, reflektif, dan mendalam dari suatu liputan investigasi sebenarnya lebih cocok untuk media cetak ketimbang digital. Sebab, karakter umum pembaca digital adalah daya atensi yang pendek, tidak kuat membaca berita panjang, dan kurang reflektif (Nicholas Carr, The Shallows, Mizan, 2011). Ini wajar mengingat kadang kegiatan membaca di media digital diganggu dengan berbagai iklan yang sering tiba-tiba muncul (pop-ups). Dengan demikian, menyajikan liputan mendalam di media cetak akan menyasar segmen tertentu (niche market) yang memang membutuhkan berita semacam itu. Sekaligus, ini merawat karakter publik untuk meningkatkan literasi seputar isu publik dan aktif memperjuangkan kepentingan bersama dalam kerangka demokrasi (Robertus Robet, Republikanisme, 2021).

 Dengan kata lain, sudah saatnya media-media konvensional, khususnya cetak, mulai berfokus pada kegiatan menghasilkan liputan-liputan investigatif. Memang, ini membutuhkan keberanian, ketekunan, sumber daya manusia kuat, maupun integritas/independensi dari media maupun juru warta mereka sendiri. Namun, semua itu mutlak dibutuhkan demi menghadirkan eksklusivitas sebagai salah satu daya pikat media cetak bagi pembaca. Karena itu, penerbit media cetak harus piawai menyajikan konten secara eksklusif, reflektif, mendalam, dan membela kepentingan publik supaya dapat bertahan. Kita tentu berharap itu bisa terjadi, sehingga kita tidak akan lagi mendengar kabar ada media-media mapan dengan sejarah panjang akhirnya tutup dan hanya menjadi kenangan.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun