Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Indonesia Kaya Rempah, Potensi Besar Bagi Industri Fitofarmaka

26 Januari 2025   19:51 Diperbarui: 26 Januari 2025   19:51 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Proses pembuatan jamu tradisional kekinian (Sumber: banjarmasin.tribunnews.com)

Negeri kita terkenal kaya akan rempah. Ini sebenarnya potensi besar bagi kita mengembangkan sektor fitofarmaka (industri rempah berkhasiat medis) sebagai lahan ekonomi produktif.

Tradisi meracik jamu dari tanaman obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit sudah ada di bumi Nusantara sejak ribuan tahun silam. Buktinya, prasasti Madhawapura peninggalan kerajaan Majapahit menyebutkan profesi acaraki atau peracik jamu. Sejumlah relief Borobudur pun memuat ukiran yang menggambarkan ramuan obat tradisional. 

Potensi kita di bidang rempah-rempah obat atau tanaman herbal memang luar biasa besar. Data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan hayati terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Diperkirakan ada sekitar 9.600 tanaman di Indonesia yang memiliki khasiat obat, tapi baru sekitar 300-600 spesies saja yang baru bisa dimanfaatkan sebagai jamu alias kurang dari 3 persen! Kita bisa menyebut sebagai contoh sambiloto, temulawak, lengkuas, jahe, kunyit, kencur, kulit manggis, dan lain sebagainya.

Pangan fungsional

Nah, kita bisa bayangkan jika segenap potensi itu bisa diaktualisasikan sepenuhnya. Ini tentu menjadi kekuatan ekonomi dahsyat. Dunia Barat pun sebenarnya sedang menunjukkan kecenderungan menengok sumber-sumber berbasis tanaman obat sebagai terapi alternatif. Sebab, masyarakat Barat sudah mengalami proses jenuh produk kimia dan berbondong-bondong mengidap kerinduan akan gaya hidup yang lebih 'ramah lingkungan' alias bersahabat dengan alam. 

Dalam literatur ilmu gizi, masyarakat mulai menengok kembali konsep pangan fungsional. Merujuk Prof. Made Astawan dalam Sehat dengan Rempah dan Bumbu Dapur (Penerbit Buku Kompas, 2016), pangan fungsional adalah "makanan yang berpengaruh
positif terhadap kesehatan dan kebugaran, serta penampilan jasmani dan rohani seseorang." Konsep ini berkeyakinan bahwa makanan fungsional mengandung zat-zat gizi dan nongizi yang sangat penting bagi kesehatan putih. Pangan fungsional ini dapat dikonsumsi tanpa takaran saji dan tetap efektif khasiatnya. Sebagai contoh, rempah-rempah kayu manis dapat menghambat
infeksi staphlylococcus lebih efektif daripada ampisilin. Tidak seperti mekanisme antibiotika yang membunuh semua bakteri, kayu manis hanya membunuh bakteri yang bersifat patogen (penyebab penyakit), sehingga bakteri yang bermanfaat bagi tubuh tetap dapat dipertahankan.

Tren pangan fungsional dan rempah sebagai terapi medis seperti di atas sejatinya selaras dengan kecenderungan masyarakat dunia yang ingin mencari keseimbangan. Yaitu, masyarakat Barat yang warisan suluh akal-budi dari tradisi Yunaninya begitu mengedepankan kemajuan teknologi untuk mengeksploitasi alam mulai mengalami retakan-retakan baik dalam aspek ragawinya maupun aspek ruhaninya. Maka itu, masyarakat Barat menengok pada warisan filsafat dan kearifan Timur, utamanya kearifan negara-negara Asia seperti India dan China, yang mengedepankan keseimbangan dan kehidupan yang selaras serta harmonis dengan alam semesta (Harry Hamersma, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, Kanisius, 2012).

Akan tetapi, supaya konsumen tidak ragu mengkonsumsirempah-rempah Indonesia dan juga supaya bisa diekspor lebih optimal, komoditas herbal itu perlu juga mengalami proses nilai tambah bernama fitofarmakologi atau pemrosesan jamu secara modern menjadi obat alami yang bisa diresepkan layaknya obat dokter atau obat bebas (produk obatnya bernama fitofarmaka). Beberapa tanaman obat yang sudah melalui proses fitofarmakologi misalnya: meniran untuk meningkatkan daya tahan tubuh, bawang putih untuk mengendalikan hipertensi (tekanan darah tinggi), kunyit sebagai pengencer darah alami, kayu manis untuk mengendalikan
diabetes, kayu ules dan adas untuk flu, jinten (habbatussauda) untuk stamina, buah maja dan daun jambu biji untuk obat diare, kulit manggis sebagai antioksidan, dan lain sebagainya. Dengan proses ini, masyarakat konsumen dan negara importir potensial akan teryakinkan bahwa obat herbal kemasan dari Indonesia itu sudah melalui proses rasional-ilmiah-teruji, sehingga aman
dikonsumsi dan memang berkhasiat medis.

Selain itu, proses fitofarmakologi untuk menghasilkan produk fitofarmaka ini akan membuat tanaman obat berkhasiat tersebut bisa diresepkan oleh dokter dalam mengobati penyakit. Mengingat bahan baku produk fitofarmaka yang tersedia berlimpah dan murah,
kemungkinan peresepan medis bagi fitofarmaka ini tentu akan menurunkan biaya berobat bagi masyarakat. Sekaligus, bisa menurunkan besaran angka klaim BPJS Kesehatan yang selalu menjadi problem klasik bagi kesehatan neraca penyedia asuransi kesehatan semesta tersebut.

Akhirulkalam, semoga rempah-rempah dan tanaman herbal kita bisa naik kelas menjadi produk andalan yang bisa menopang sektor perekonomian Indonesia, yang memang sedang melemah saat ini dan membutuhkan kontribusi dari mana pun. Sehingga, nama Indonesia kian harum di mata dunia, perekonomian kita menggeliat, dan masyarakat kita pun sehat serta tambah
produktif.
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun