Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mentalitas Klien, Bahaya Bagi Bangsa Kita

25 Januari 2025   22:10 Diperbarui: 25 Januari 2025   20:15 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejarawan Kuntowijoyo, pencetus istilah mentalitas klien (sumber: alif.id)

Walaupun sudah hampir 27 tahun menginjak era reformasi di berbagai bidang, Indonesia ternyata masih mengidap masalah terkait praktik korupsi dan penipuan sebagai kejahatan berkerah putih (white collar crime) seperti kejahatan perbankan atau penipuan investasi. Pasalnya, kian hari media massa kita justru semakin dihiasi dengan berbagai praktik lancung tersebut.

Sesungguhnya di balik itu semua, semakin meruyaknya praktik korupsi dan penipuan adalah pertanda masih bercokol kuatnya alam pikir mitos di benak sebagian orang Indonesia.

Berdasarkan alam pikir mitos, dunia diasumsikan sebagai diatur oleh hukum-hukum supra rasional, metafisika dan gaib. Berbeda dengan alam pikir positivistis-rasional-ilmiah yang beranggapan bahwa alam semesta dikendalikan oleh hukum-hukum umum yang bisa diketahui lewat akal budi (nomotetis). Oleh karena itu, masyarakat yang kuat dihinggapi alam pikir mitos berpendapat bahwa keberhasilan hidup tidak mesti dicapai dengan mengikuti kaidah-kaidah normatif umum. Melainkan, kesuksesan itu dapat diraih lewat cara jalan gaib seperti pergi ke dukun atau bertapa di tempat-tempat keramat.

Mentalitas menerabas dan mentalitas klien

Pada gilirannya, keyakinan akan adanya jalan gaib menuju kesuksesan itu berkecambah menjadi keyakinan terhadap adanya jalan pintas menuju kebahagiaan hidup, keyakinan yang disebut secara sinis oleh guru besar antropologi Prof. Koentjaraningrat dalam Mentalitas Kebudayaan Pembangunan (1996) sebagai mentalitas menerabas. Yakni, mentalitas yang maunya gampang saja dalam meraih keberhasilan dan pantang bekerja keras.

Parahnya lagi, mentalitas menerabas ini lantas berjalin berkelindan dengan mentalitas yang disebut begawan sejarah Prof.Kuntowijoyo (2004) sebagai 'mentalitas klien'. Itulah mentalitas yang tergantung pada patron, seperti modal kita tergantung pada patron asing, kebudayaan populer kita tergantung pada patron Hollywood atau Korea, dan lain sebagainya.

Di Indonesia, mentalitas klien memiliki—meminjam pendapat Michel Foucault—kesatuan motif (unities of discourse) berupa kemakmuran dan keberlimpahan material, yang berpangkal pada dua ciri khas mentalitas bangsa klien. Pertama, ko pleks inferioritas dan xenomania, yaitu kita merasa minder apabila tidak mengonsumsi barang-barang impor dan mewah, tidak sekolah di institusi ‘berstandar internasional’, tidak berobat di Singapura, tidak berlibur ke Disneyland dan lain sebagainya.

Kedua, sindrom selebriti. Maksudnya, kita merasa bangga bagaikan selebriti apabila semua pandangan mata tertuju pada kita karena mobil mewah yang kita tunggangi, busana bermerek yang kita kenakan, gadget yang kita tenteng dan lain-lain.

Alhasil, persekutuan antara alam pikir mitos, mentalitas menerabas dan mentalitas klien bermuara pada pendewaan materi dan konsumsi berlebihan. Tragisnya, semua itu tidak diiringi dengan kemampuan dan kemauan untuk bekerja keras demi menggapai sarana (baca: uang) yang dibutuhkan untuk memuaskan dahaga akan materi tersebut. Akhirnya, terjadilah motif untuk menghalalkan berbagai cara demi menjadi kaya. Makanya kita kemudian melihat sejumlah kasus penipuan bank (bank fraud) oleh oknum orang dalam.

Oleh karena itu, hanya ada satu cara tegas untuk menghadapi permasalahan akut ini. Yaitu, mengikis habis mentalitas klien dengan menumbuhkan kesadaran diri bangsa ini supaya dapat berdiri menjadi bangsa yang mandiri. Sekaligus, bangsa ini harus bertekad pula menjadi bangsa yang berdaulat. Maksudnya, berdaulat dari pola pikir antilogika, perbudakan harta, pembebekan budaya dan
penghambaan terhadap intervensi asing dalam bentuknya yang beraneka rupa.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun