Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

3 Cara Membuat Pendidikan Kewarganegaraan Lebih Menyenangkan

25 Januari 2025   21:01 Diperbarui: 25 Januari 2025   21:03 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lambang Garuda Pancasila (Sumber: perpustakaan.id)

Sebagai mata kuliah wajib di universitas yang “mendidik generasi muda menjadi warga negara yang beradab (civilized), cerdas dan sadar akan hak dan kewajibannya dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara seraya membangun kesiapan menjadi warga dunia" (Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan, Penerbit Paradigma, 2010), Pendidikan Kewarganegaraan (Pkn) alias civic education memiliki fungsi strategis bagi kemajuan sumber daya manusia (SDM) bangsa ini.

Sayangnya, banyak mahasiswa menganggap pelajaran ini membosankan. Pasalnya, masih ada sejumlah pengajar yang memperlakukan mata kuliah ini sebagai media indoktrinasi untuk menanamkan nilai-nilai ideologis secara satu arah. Padahal, jika melihat salah satu buku ajar Pkn karya Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan (Rineka Cipta, 2008), mata kuliah ini memiliki tema menarik lagi beragam seperti Demokrasi, Hak Asasi Manusia (HAM), Negara dan Konstitusi, Otonomi Daerah dan Filsafat Pancasila. Dan, ragam tema ini membuka beberapa cara efektif yang pernah penulis praktikkan untuk membuat Pkn lebih menyenangkan kala penulis mengajar mata kuliah ini.

Pertama, mahasiswa bisa diajak berdemokrasi dengan membuat tugas presentasi simulasi kampanye partai politik. Mereka diminta membuat kelompok dan menggagas partai politik “fiktif” lengkap dengan platform ideologis, visi-misi, dan program konkret. Ketika semua kelompok sudah selesai mempresentasikan partai mereka, para mahasiswa di kelas melangsungkan “pemilihan umum”
guna memilih partai terbaik. Kelompok yang menang tentu mendapatkan nilai komponen tugas paling tinggi. Ini bisa diperluas lagi dengan mahasiswa diinstruksikan membuat presentasi simulasi kampanye kandidat presiden – wakil presiden atau kampanye kepala daerah. Biasanya, diskusi akan berlangsung seru karena setiap mahasiswa “berebut” ingin mengkritik segala kebijakan “kandidat fiktif” itu berdasarkan hasil tafsiran mereka sehari-hari terhadap fenomena politik di dunia nyata. Sekaligus, mahasiswa sudah diajak untuk melek politik dan turut aktif dalam perdebatan politik sedari awal.

Kedua, mahasiswa membuat simulasi “Jika Aku Menjadi Tokoh Bangsa.” Dalam tugas ini, mereka diminta mempelajari pemikiran berbagai tokoh bangsa seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan sebagainya. Kemudian, mereka harus membayangkan apa yang akan dilakukan para tokoh itu—sebagai kerangka teori—dalam memecahkan masalah bangsa terkini semisal korupsi, separatisme, dan lain sebagainya. Guna lebih meminimalkan potensi mahasiswa melakukan plagiarisme lewat penggunaan
sumber-sumber Internet (umum dikenal dengan fenomena copas alias copy and paste), kita bisa mewajibkan penyisipan dan penggunaan sejumlah kata kunci yang wajib ada dalam makalah untuk kemudian digarisbawahi. Jumlah kata kunci tentu bervariasi tergantung kebutuhan, konteks dan situasi: bisa empat, delapan, atau bahkan sepuluh kata.

Ketiga, mahasiswa diajak terlibat dalam permainan debat devil’s advocate. Dalam permainan ini, mahasiswa dibagi menjadi dua kubu, yaitu kubu pertama yang habis-habisan mendukung berlakunya wacana-wacana kontroversial—inilah kubu yang disebut “pendukung ide aneh/jahat” alias devil’s advocate tadi—dan kubu kedua yang juga tak kalah gencarnya menentang ide yang sama. Contoh ide-ide kontroversial misalnya: menghapus hukuman mati, membolehkan paham sekularisme atau teokrasi, membolehkan pemilihan presiden tidak langsung alias di tangan MPR, dan lain sebagainya.

Dengan mekanisme ini, umumnya akan timbul diskusi atau debat ramai menjurus sengit antara dua belah kubu, yang supaya mudah dibagi berdasarkan posisi duduk mahasiswa: kubu sebelah kiri (pemrasaran) dan kubu sebelah kanan (oposisi). Hasilnya, mahasiswa terangsang untuk berpikir kritis, biasa berdiskusi, menoleransi perbedaan pendapat, dan melihat berbagai masalah dari kacamata lain yang tak disangka-sangka.

Ketika penulis mencoba tiga cara ini, mahasiswa-mahasiswa peserta mata kuliah Pkn tampak lebih antusias dalam diskusi kelas dan merasa pelajaran pembangunan karakter itu lebih menyenangkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun