Namun, selepas itu jaringan epistemis ekonomi kerakyatan mengendur. Pasalnya, media-media besar seperti Kompas dan Tempo bergeser menjadi lebih liberal. Salah satu sebabnya, para pentolan media itu kecewa terhadap pelaksanaan sentralisme. Misalnya,
petinggi Tempo Goenawan Muhammad kecewa saat menyaksikan sendiri kenyataan bahwa sukses penerapan sentralisme di China hanya mitos belaka.
Selain itu, elemen birokrasi yang didominasi oleh teknokrat dan ekonom profesional seperti Widjojo, Ali Wardhana, M. Sadli, Radius Prawiro, dan lain sebagainya, juga sudah lebih tangkas menjalin kerja sama dengan media besar. Buktinya, Prof Sadli dipercaya sebagai pemimpin Dialog Ekonomi rutin di Kompas sejak 1983. Oleh karena itu, jika kita ingin kembali menyaksikan berjayanya ekonomi kerakyatan di Indonesia, perjuangan panjang lewat gagasan harus dimulai melalui sekurangnya dua cara.Â
Pertama, mengidentifikasi tokoh-tokoh bergagasan ekonomi kerakyatan. Umumnya, meski tidak selalu, tokoh-tokoh ini muncul dari UGM dan IPB. Perihal perbedaan mazhab ekonomi UGM yang bercorak kerakyatan dan UI yang bercorak liberal bahkan sudah dikonfirmasi jauh hari oleh kolumnis Mahbub Junaidi (1995). Mayoritas nama yang identik dengan Ekonomi Kerakyatan pun memang datang dari dua kampus itu, seperti Mubyarto, Revrisond Baswir, Sri Adiningsih (UGM), atau Hendri Saparini dan Iman Sugema (IPB). Â
Kedua, bersama-sama membangun jaringan epistemis ekonomi kerakyatan dengan media dan birokrasi. Jaringan perlu menggolkan tokoh-tokoh berepistemologi ekonomi kerakyatan dan berharap mereka konsisten saat ada di birokrasi. Tinggal, bagaimana aktor gagasan ekonomi kerakyatan mampu meyakinkan media untuk mendiseminasikan gagasan mereka dalam satu jaringan epistemis yang kokoh.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI