Salah satu tugas utama negara sesuai konstitusi adalah memajukan kesejahteraan rakyatnya. Selain itu, negara juga bertanggung jawab menguasai cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak demi kesejahteraan rakyat. Singkatnya, Indonesia
adalah penganut demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan. Ironisnya, pelaksanaan strategi ekonomi kita kini tampak menjauh dari filosofi dasar tersebut. Masyarakat sering hanya dimanjakan oleh angka-angka makroekonomi yang ditopang sektor konsumsi dan hot money sektor finansial, padahal terjadi pelebaran kesenjangan. Lihat saja, gini ratio kita masih tinggi di angka 0,381 pada 2024.
Amanat founding father
Kalau ada yang bilang filosofi ekonomi Indonesia adalah sosialisme, itu tidaklah keliru. Para founding fathers kita memang menolak kapitalisme, yang diidentikkan dengan kolonialisme. Artinya, nasionalisme bergelora pendiri bangsa membuat mereka
menggariskan posisi antikapitalisme. Tak kurang dari Bung Hatta dalam "Ekonomi Rakyat dalam Bahaya" (1933) menyebutkan, perekonomian Indonesia dieksploitasi oleh kolonialisme sehingga keadilan dan pemerataan ekonomi perlu ditegakkan. Inilah dasar pemikiran ekonomi kerakyatan, yaitu ekonomi sosialis dengan tujuan pemerataan kesejahteraan.
Lalu, seturut paham pemikiran integralistik yang menganggap negara sebagai pengayom rakyatnya (Marsillam Simanjuntak, Paham Negara Integralistik, Grafiti, 1995), demikian pula negara Indonesia bertanggung jawab penuh meningkatkan taraf ekonomi masyarakatnya. Tanggung jawab ini lantas diterjemahkan ke dalam kebijakan ekonomi yang sentralistis, utamanya pada 1950-an dan awal 1960-an.
Sebagai contoh, pada masa demokrasi liberal (1950-1957), dua kabinet mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada pribumi. Kabinet Natsir mencanangkan program Benteng untuk menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan asing. Berdasarkan ini, kredit diprioritaskan untuk perusahaan pribumi supaya bisa berpartisipasi dalam ekonomi nasional. Selanjutnya, Kabinet Ali Sastroamidjoyo mencetuskan sistem Ali-Baba yang mewajibkan pengusaha nonpribumi memberikan latihan kepada pengusaha pribumi.
Hanya saja, terjadi kemudian dua perkembangan yang membuat Indonesia memutar haluan dari ekonomi sosialistis menuju ekonomi yang lebih liberal. Pertama, kegagalan ekonomi pemerintahan Soekarno yang membuat Soeharto harus mengundang
investor asing dan melaksanakan liberalisasi pasar domestik.
Kedua, penggalangan gagasan oleh "jaringan epistemis liberal" yang terdiri dari penulis, ekonom profesional, dan lain-lain. Sebagaimana dikemukakan Rizal Mallarangeng dalam disertasinya Mendobrak Sentralisme Ekonomi (KPG, 2002), kekuatan gagasan adalah faktor yang sangat penting. Sebab, gagasan adalah satu kekuatan yang memberikan panduan bagi makhluk ekonomi seperti manusia, yang mustahil memiliki informasi lengkap sebagaimana diandaikan oleh teori pilihan rasional.
Maka itu, penetrasi gagasan ekonomi kerakyatan menjadi musykil tanpa penggalangan jaringan epistemis ekonomi kerakyatan. Malangnya, upaya itu sering kandas di tengah jalan. Sejak awal 1980, jaringan epistemis ekonomi kerakyatan tak mampu menjalin konsolidasi kuat dengan elemen birokrasi dan media untuk menembuskan gagasannya.
Sebenarnya ada preseden positif. Pada awal 1970-an, jaringan epistemis ekonomi kerakyatan sempat terbentuk dengan bersimpatinya media besar seperti Tempo dan Kompas terhadap opini Kelompok Empat---terdiri dari Hatta, Sarbini Sumawinata,
Mochtar Lubis, dan Soedjatmoko. Kelompok Empat adalah kelompok yang mengkritik kebijakan liberalisme ekonomi kaum teknokrat pimpinan Widjojo Nitisastro, menuntut pembatasan tegas terhadap kapitalisme dan perluasan kebijakan yang lebih nasionalistis.
Juga, keberhasilan ini turut memupuk satu tradisi dalam pemikiran ekonomi Indonesia yang disebut Vedi Hadiz (The Politics of Economic Development in Indonesia, Routledge, 1995) sebagai kritik populis (populist critique), dengan figur seperti teoretikus
ketergantungan Adi Sasono dan Sritua Arief; mahasiswa ITB kritis yang Buku Putih (1978) mereka mengkritik ketimpangan ekonomi antara nonpribumi dan pribumi; pemikir Marxian seperti M. Dawam Rahardjo; dan Mubyarto dengan Ekonomi Pancasila.