Pergantian kepemimpinan politik di tengah jalan adalah sesuatu yang pasti tidak diinginkan oleh rakyat kebanyakan. Pasalnya, hal demikian akan menciptakan ketidakstabilan sosial politik maupun ekonomi seraya mengganggu penghidupan rakyat. Oleh karena itu, berguna sebenarnya bagi kita untuk mengetahui faktor-faktor apa yang dapat mencetuskan pergantian kepemimpinan politik secara tiba-tiba tersebut.
Panorama Pustaka
Di sini, akan dikemukakan intisari dari empat literatur tentang pergantian kepemimpinan politik di tengah jalan. Pertama, buku klasik Edward Luttwak Coup D'etat: A Practical Handbook (Harvard University Press, 1968). Menurut buku ini, ada tiga kondisi utama yang memungkinkan terjadinya kudeta. Hal pertama adalah jika di tengah keterpurukan kondisi sosial dan ekonomi, kaum politisi enggan lagi memperhatikan kelompok-kelompok kecil di masyarakat. Selanjutnya, jika pemerintah mengundang pengaruh asing untuk perpolitikan internal. Terakhir, jika suatu negara dikendalikan oleh satu kekuatan politik tertentu. Sebab, dengan hanya menguasai satu mata rantai paling vital ini saja, pelaku kudeta akan menguasai pemerintahan secara keseluruhan.
Kedua, artikel Andre Barahamin berjudul "Kudeta: Jalan Buntu atau Jalan Keluar?" (dalam Ketika Demokrasi Melahirkan Kudeta, Berdikari, 2017). Teori ini meyakini bahwa revolusi politik berpotensi terjadi jika ikhtiar itu didukung oleh militer. Bahkan, kudeta militer bisa mendapatkan label demokratis apabila kudeta itu ingin melengserkan pemimpin otoriter; kudeta itu merupakan partisipasi militer dalam perlawanan rakyat terhadap rezim; kudeta itu menjadi solusi ketika perlawanan luas rakyat tidak ditanggapi; kudeta itu dilakukan oleh kelompok yang tidak menjadi bagian dari rezim; dan militer langsung menyelenggarakan pemilihan umum setelah kudeta.
Ketiga, disertasi Denny JA berjudul Democratization from Below (Sinar Harapan, 2006). Disertasi doktoral ilmu politik Denny JA di Ohio State University ini mencantumkan lima faktor utama yang bisa berujung pada pergantian kekuasaan di luar mekanisme pemilu, yaitu: krisis ekonomi yang memicu demonstrasi massa, keberadaan pengusaha politik yang menyebarluaskan ide akan perubahan, perpecahan di antara elit, konflik antara pemimpin sipil dan panglima militer, serta kesalahan terakumulasi dari penguasa.
Keempat, studi Salim Said tentang kestabilan demokrasi di empat negara---Thailand, Mesir, Korea Selatan, dan Indonesia---yang berjudul Ini Bukan Kudeta (Mizan, 2018). Dalam bukunya itu, Salim Said mengajukan empat faktor yang bisa merontokkan suatu sistem demokrasi sekaligus upaya pembangunan ekonominya, yakni keterbelahan masyarakat akibat tiadanya masyarakat madani yang kuat, terkonsolidasinya kekuatan-kekuatan yang pro-status quo, kurangnya keberanian dari elit politik untuk memanfaatkan dukungan rakyat, dan kurangnya pelembagaan atau institusionalisasi nilai-nilai demokrasi.
Saripati
Jika kita lihat irisan literatur-literatur teoretis di atas, bisa kita saripatikan bahwa faktor-faktor yang bisa mencetuskan pergantian kepemimpinan di tengah jalan atau tiba-tiba adalah: keterhimpitan/krisis ekonomi, peranan pemerintahan asing, kesalahan bertumpuk dari penguasa, sosialisasi dan internalisasi demokrasi yang tidak berjalan, adanya konflik antarelit politik, dan militer yang mengambil inisiatif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI