Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dekrit 5 Juli 1959, Jalan Tengah Kaum Sekular dan Islamis

24 Januari 2025   10:37 Diperbarui: 24 Januari 2025   10:46 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Dalam sejarah Indonesia, Dekrit 5 Juli 1959 punya konotasi dan citra yang secara keseluruhan buruk. Sebab, Dekrit kala itu membuka jalan bagi Presiden Soekarno menjalankan sistem Demokrasi Terpimpinnya yang diktatorial dan otoriter.

Selain itu, karena memberlakukan kembali UUD 1945 akibat kegagalan Konstituante merumuskan dasar negara, Dekrit juga membelah sikap rakyat Indonesia. Khususnya di kalangan umat Islam. Maksudnya, ada kalangan Islam yang menganggap Dekrit sebagai petaka, tapi ada juga yang menganggapnya anugerah. Yang pertama beranggapan Dekrit telah membuyarkan harapan para pihak yang ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara---akrab disebut kaum Islamis---lewat Konstituante. Sementara yang menganggapnya anugerah berpendapat bahwa Dekrit adalah konsensus dan jalan tengah yang pas bagi aspirasi kaum Islamis dan aspirasi kalangan yang menolak Islam dijadikan dasar negara.

Piagam Jakarta
Sebagai tambahan, dua kubu di atas sejatinya berdebat hangat soal Piagam Jakarta. Untuk menyegarkan ingatan, Piagam Jakarta adalah dokumen tertanggal 22 Juni 1945 yang disusun oleh Panitia Perumus Badan Persiapan Penyelenggara Kemerdekaan (BPPK) yang beranggotakan 9 orang: Ir. Soekarno, Dr. Mohammad Hatta, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Kahar Moezakir, H. Agus Salim, Mr. Ahmad Soebardjo, K.H. Wachid Hasyim, Mr. Mohammad Yamin, dan Mr. A.A. Maramis (satu-satunya
yang beragama Nasrani).

Boleh dibilang, Piagam Jakarta adalah rumusan paling asli dan pertama dari Pancasila karena isinya sebagian besar sama dengan Pembukaan UUD 1945 yang kita kenal saat ini. Yaitu, pembukaan yang disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Perbedaannya hanya dua. Pertama, perubahan kata "Hukum Dasar Negara Indonesia" menjadi Undang-undang Dasar Negara Indonesia. Kedua, penggantian kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya" dengan "Ketuhanan
yang Maha Esa."

Berkah terselubung
Poin kedualah yang hingga detik ini terus memantik polemik. Sebab, di satu sisi banyak perwakilan dari kalangan Islamis hingga saat ini masih memiliki aspirasi untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta dengan 'tujuh kata'. Bagi mereka, 'tujuh kata' (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya) dalam Piagam Jakarta adalah suatu konsensus bahwa Indonesia merupakan
negara bersyariat Islam. Di sisi lain, penentang aspirasi kaum Islamis ini berargumen bahwa tujuh kata yang sama akan menjauhkan Indonesia sebagai negara Pancasila yang, meski berlandaskan pada Ketuhanan, tapi tidak didasarkan pada satu agama tertentu. Juga, kubu kedua ini meyakini Piagam Jakarta berpotensi menumbuhkan masalah SARA serta bertentangan dengan konstitusi itu sendiri. Mengutip Prof. Hazairin dalam Demokrasi Pancasila (1970:60), pemikiran dari kalangan Islamis merupakan pemikiran diniyah (keagamaan), sementara antitesanya disebut pemikiran "sekular".

Pada titik inilah Dekrit menjadi berkah terselubung karena ia mampu mengakomodasi kedua aspirasi tersebut. Lebih khusus lagi, Dekrit mampu mengakomodasi aspirasi diniyah atau Islamis. Sebab, Dekrit mampu meretas jalan tengah antara kedua paham tersebut. Ini bisa dilihat dari alinea kelima dalam pertimbangan Dekrit tersebut yang berbunyi, "bahwa kami berkeyakinan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan merupakan rangkaian satu kesatuan dengan konstitusi tersebut."

Dengan kata lain, alinea kelima ini menyatakan bahwa Piagam Jakarta adalah ruh dari UUD 1945. Bahkan, sebagaimana diceritakan Endang Saifuddin Anshari dalam disertasinya Piagam Jakarta: Sebuah Konsensus Nasional (1997:140), Soekarno sampai merasa harus mengulangi tidak kurang dari tiga kali isi Dekrit yang menyatakan posisi dan fungsi Piagam Jakarta dalam rangka Undang-Undang Dasar 1945 demi menegaskan betapa pentingnya poin tersebut.

Itulah pula sebabnya sistem ketatanegaraan Negara Kedaulatan Republik Indonesia (NKRI) sering juga dikatakan sebagai sistem yang berhasil mendamaikan pertentangan antara pemikiran diniyah dan sekuler. Seperti dikemukakan Prof. Ismail Suny dalam Mekanisme Demokrasi Pancasila (1984:8), UUD 1945 sejatinya menganut ajaran Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat, dan Kedaulatan Hukum (popular theistic nomocracy) sekaligus.

Hal ini bisa dijelaskan melalui dua tahap. Pertama, kedaulatan itu pada hakikatnya pertama-tama berada di Allah SWT. Namun, Tuhan dalam praktik tentu tidak turun tangan langsung mengatur kehidupan bernegara. Pengaturan itu lantas didelegasikan kepada rakyat dalam bentuk Kedaulatan Rakyat. Rakyatlah yang kemudian memegang dan melaksanakan kedaulatan itu melalui mekanisme kenegaraan. Jadi, kedaulatan rakyat Indonesia adalah penyelenggaraan kedaulatan Tuhan oleh seluruh rakyat yang merupakan hamba-hamba Tuhan.

Kedua, pelaksanaan perintah-perintah Tuhan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dimusyawarahkan oleh rakyat melalui perantaraan wakil-wakilnya. Hasil permusyawaratan rakyat itulah yang menjadi bentuk kesadaran hukum rakyat yang ditetapkan oleh DPR bersama-sama Presiden dalam bentuk proses legislasi (pembuatan undang-undang).

Dengan demikian, teranglah sudah betapa UUD 1945 dan Dekrit yang menjadi landasan pemberlakuan kembali konstitusi tersebut beserta landasan penetrasi semangat Piagam Jakarta ke dalam konstitusi yang sama, adalah sebuah konsensus yang sempurna.
Sebagai konsekuensi logis, maka pemberlakuan Dekrit 5 Juli 1959 sekaligus memberi Indonesia jalan untuk melakukan legislasi dan menerapkan peraturan atau ketentuan yang memaksakan "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya." Sebagai contoh, sekarang kita memiliki UU bercorak Islam seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Pemerintahan Aceh (UUPA). Artinya, Dekrit 5 Juli 1959 sebenarnya adalah berkah bagi umat Islam karena Dekrit tersebut telah menciptakan suatu jalan tengah antara aspirasi Islamis dan sekuler yang berkembang dalam alam pikir rakyat Indonesia.
 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun