Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Urgensi Filantropi Di Tengah Kemuraman Ekonomi

23 Januari 2025   20:36 Diperbarui: 23 Januari 2025   20:37 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak dimungkiri bahwa perekonomian Indonesia saat ini masih mengalami masa sulit. Secara kasat mata saja, kita bisa melihat prospek muram di sekeliling kita. Di mana-mana masih terlihat banyak dijualnya ruko dan lahan-lahan bisnis karena bangkrut. Juga, banyak berita berseliweran tentang perusahaan yang ditutup atau karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. 

Sementara secara data objektif, sejumlah lembaga memperkirakan pertumbuhan ekonomi kita akan stagnan di kisaran 5 persen, jauh dari target pemerintah yang 8 persen. Selain itu, kelas menengah kita sebagai penopang konsumsi dan motor pertumbuhan ekonomi juga mengalami penurunan jumlah signifikan sebesar 18,8 persen dari 57,3 juta jiwa pada 2019 ke 48,2 juta pada 2023 (Kompas, 13/12/2024)

Tentu situasi kelam di lapangan maupun secara objektif seperti itu laksana bom waktu yang siap meledak menjadi beraneka masalah sosial. Di sisi lain, masyarakat jelas tidak bisa menggantungkan penyelesaian masalah sepenuhnya pada negara. Karena itu, urgensi satu solusi tambahan berupa penggerakan aksi filantropi (amal sosial) menjadi penting.  

Para kaum berpunya atau kelas menengah yang jumlahnya masih 48,2 juta jiwa itu seyogianya mau menyalurkan sebagian dana mereka untuk kegiatan filantropis. Sebab, ini akan menjadi sebagai solusi jangka pendek ampuh untuk menghalau awan gelap ekonomi. Lagi pula, kaum berpunya secara logika punya motivasi melakukan aktivitas filantropis guna meningkatkan kebahagiaan mereka sendiri.

Penelitian oleh Irfan Agia (2016) mengungkapkan bahwa jumlah uang yang dimiliki bukan menjadi faktor utama yang menentukan kebahagiaan seseorang, melainkan bagaimana cara orang menggunakan dan membelanjakan uang yang dimiliki. Ada dua cara seseorang menggunakan uangnya. Pertama, personal spending, di mana seseorang membelanjakan uangnya untuk kebutuhan pribadi. Kedua, pro-social spending, yaitu ketika seseorang menggunakan uangnya untuk orang lain.

Cara pro-social spending inilah yang terbukti berperan penting menentukan kebahagiaan seseorang. Seseorang akan merasa bahagia dalam pro-social spending karena memberikan sesuatu kepada orang lain ternyata bisa memberikan kesempatan kepada sang pemberi untuk berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain, terutama orang terdekat. Kebahagiaan juga akan kian bertambah ketika sang pemberi melihat bahwa kegiatan filantropisnya dapat bermanfaat bagi orang yang menerimanya.

Pilihan logis

Jadi, di tengah situasi ekonomi yang masih serba tak menentu, orang justru memiliki kebutuhan lebih besar untuk bahagia. Bagi kaum yang berpenghasilan kurang, kebahagiaan saat ini mungkin lebih bersifat sekadar mendapatkan sarana material yang halal guna memenuhi kebutuhan hidup. Namun bagi kaum berpenghasilan lebih, pilihan paling logis yang bisa mereka ambil untuk mendapatkan kebahagiaan adalah dengan melakukan kegiatan berbagi atau aksi filantropis. Caranya bisa dengan menyalurkan dana mereka dalam bentuk derma atau amal langsung kepada yang membutuhkan, mendirikan yayasan-yayasan sosial, dan lain sebagainya. 

Selain itu, kegiatan filantropis akan berfungsi sebagai penyedia bantalan sosial guna mencegah berubahnya orang-orang yang lapar menjadi kecewa dan melakukan berbagai aksi anarkis yang berujung pada ketidakstabilan sosial serta terancamnya properti kaum berpunya. Ditambah budaya masyarakat Indonesia yang masih relatif religius (di mana semua agama memiliki konsep amal sosial sebagai ibadah) dan bersifat kolektif alias guyub, momen kemuraman ekonomi saat ini harusnya bisa menjadi lahan subur bagi meningkatnya aksi-aksi filantropis. 

Namun, negara juga harus aktif menjalankan peran filantropis dengan berperan aktif menggelontorkan insentif-insentif dan bantuan sosial yang tepat-sasaran. Ini sesuai dengan format negara ideal di era modern ini, yaitu negara kesejahteraan (welfare state) di mana negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warganya (Darmawan Triwibowo, Mimpi Negara Kesejahteraan, LP3ES, 20069). Pemerintah pun mesti menahan diri dari mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bisa memperberat rakyat, seperti kenaikan harga dan tarif. Juga, menunda proyek-proyek besar seperti proyek infrastruktur supaya anggarannya bisa dialokasikan untuk mengatasi masalah ekonomi masyarakat.

Alhasil, jika negara dan masyarakat bisa secara bergotong-royong menggairahkan semangat filantropis sesuai kapasitas masing-masing, niscaya kondisi muram ekonomi ini akan teratasi dengan baik. Semoga! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun