Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

3 Langkah Mengoptimalkan Deradikalisasi

23 Januari 2025   07:02 Diperbarui: 23 Januari 2025   07:02 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kover Buku Deradikalisasi karya AS Hikam (Sumber: www.hikamreader.com)

Terorisme masih menjadi salah satu hambatan, ancaman, tantangan, dan gangguan (HATG) bagi ketahanan nasional kita. Banyak variabel yang menyebabkannya, salah satunya adalah pemahaman radikal tentang agama atau radikalisasi. Maka itu, salah satu solusi yang sering digagas dan memang sudah dijalankan pemerintah adalah deradikalisasi.

Deradikalisasi sendiri didefinisikan sebagai upaya untuk menghentikan, meniadakan, atau paling tidak menetralisasi radikalisme. Kata lainnya adalah "pemutusan" atau disengagement yang bertujuan melakukan "perubahan sosial kognitif dalam arti meninggalkan berbagai norma sosial, nilai, perilaku, dan aspirasi yang diikuti bersama dengan suatu cara yang hati-hati sementara individu yang bersangkutan masih menjadi anggota dari suatu jejaring teroris. Intinya, deradikalisasi memiliki arti kontra ideologi untuk menghentikan pemahaman dan penyebaran ideologi yang dimiliki teroris (AS Hikam, Penerbit Kompas, Deradikalisasi, 2016, hal. 81-82).

Kita harus ingat bahwa deradikalisasi bersifat multidimensi mengingat motivasi berbeda-beda dari seorang teroris. Setidaknya ada tiga motif utama. Pertama, motif spiritual di mana pelaku teroris memiliki kaitan keluarga dan hubungan dekat dengan anggota organisasi teroris. Kedua, motif petualangan, di mana pengikut berusia muda terpikat oleh romantisme petualangan ke luar negeri seperti Pakistan, Palestina untuk berjihad. Ketiga, motif uang dan kesejahteraan ekonomi, yang memang disediakan oleh organisasi terorisme berdasarkan sumber finansial mereka di dalam maupun luar negeri.

Dimensi ini diperumit dengan fenomena lone wolf. Menurut Dedy Tabrani dalam disertasinya, Terorisme Keluarga (Kompas, 2021, hal. 5), lone wolf adalah serangan sel-sel terputus yang tidak saling berhubungan dan dilakukan secara individual. Strategi sel terputus ini tidak memiliki afiliasi dengan jaringan organisasi teroris besar dan tidak pernah dilatih di kamp pelatihan jihad sebagaimana dilakukan Al-Qaeda. Aktor lone wolf sel terputus ini sangat akrab dengan Internet dan media sosial serta banyak mendapatkan akses informasi dari sana.  Jika kita tafsirkan lebih jauh teori ini, artinya serangan seorang pelaku bisa datang dari inspirasi atau gelora seketika saat mendengar atau memirsa satu seruan yang bersifat "membakar".

Maka itu, program deradikalisasi saat ini tidak boleh berhenti sebatas bersifat eksklusif kepada mantan narapidana terorisme, tapi juga inklusif mencakup kluster-kluster yang memiliki bibit terorisme. Ini berguna untuk mencegah timbulnya lebih banyak lagi aktor lone wolf dalam aksi terorisme. Jadi, deradikalisasi tidak hanya bersifat mitigatif, tapi juga preventif dan pre-emtif. 

Tiga Langkah

Dengan demikian, program deradikalisasi harus merespons tiga motif utama terkait latar belakang seorang teroris atau calon teroris. Pertama, program deradikalisasi tetap melanjutkan karakter awalnya menyasar keluarga-keluarga narapidana terorisme dan memberikan paket bantuan psikologis-sosial-ekonomi untuk memutus ideologi terorisme.

Kedua, program deradikalisasi melangkah lebih umum dan inklusif dengan merespons motif petualangan anak muda. Darah panas anak muda ini mesti difasilitasi dengan ketersediaan sarana-sarana dan ruang-ruang publik sosial-olahraga-budaya yang bisa diakses mudah untuk menyalurkan jiwa petualang mereka. Di sinilah, para stakeholder (pemangku kepentingan) seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi sipil, masjid, dan sebagainya bisa melakukan sinergi. Masjid, misalnya, bisa diperluas fungsinya tidak sekadar sebagai tempat ibadah, tapi juga tempat diskusi ilmiah kritis, berolahraga, berkesenian, dan sebagainya.  

Ketiga, para stakeholder juga mesti bekerja sama mengerahkan inisiatif-inisiatif untuk menciptakan lapangan pekerjaan, memberikan bantuan ekonomi, dan mewujudkan kesejahteraan tidak hanya bagi narapidana terorisme, tapi juga bagi seluruh masyarakat. Negara, misalnya, bisa melangkah ke arah sana dengan mewujudkan Negara Kesejahteraan Sosial Universalis. Menurut Triwibowo dan Bahagiyo (Negara Kesejahteraan, LP3ES, 2006), inilah bentuk negara yang memberikan cakupan jaminan sosial yang universal, kelompok target yang luas, serta tingkat dekomodifikasi (layanan publik dasar seperti kesehatan dan pendidikan tidak dijadikan komoditas dagang) yang ekstensif.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun