Selama ini, orang awam banyak mempersepsikan agama Buddha, salah satu dari Sam Kauw di Indonesia selain Konghucu dan Taoisme, Â identik dengan agama yang menolak dunia. Padahal, tidak demikian. Justru, Buddhisme memiliki ajaran yang bisa berkontribusi pada pembangunan ekonomi.
Merangkul dunia
Setidaknya ada sejumlah butir filosofis ajaran Buddhisme terkait ekonomi. Pertama, ajaran praktis dan pragmatis untuk hidup di dunia atas dasar otonomi individu. Keliru besar jika orang menganggap Buddha sebagai agama yang menarik diri dari dunia. Sebab, menurut Niels Mulder dalam "Pandangan Hidup Orang Thai" (lihat Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Penerbit Sinar Harapan, 1981), Buddhisme justru membedakan tegas antara dunia yang kita hidupi dan dunia luar-waktu yang kita alami sesudah mati. Buddhisme menggarisbawahi bahwa manusia dapat menemukan jalannya dengan kemampuan dan akal sehatnya sendiri.
Berdasarkan pembedaan ini, Buddhisme mewajibkan individu bertanggung jawab bagi kesejahteraannya sendiri, keluarganya, dan juga agama. Dengan memenuhi pelbagai tanggung jawab itu, penganut Buddhisme akan mendapat bun (pahala). Akan tetapi, bun ini harus didapat dengan kerja keras dan efektif di dalam dunia ini. Singkat kata, ajaran Buddhisme menekankan kerja keras, rasionalitas, otonomi individu, dan tanggung jawab bagi masyarakat. Jelas, etika Buddhisme yang seperti ini demikian selaras bagi segala ikhtiar pembangunan ekonomi.
Kedua, kerja sebagai ibadah. Dalam Shimin nichiyo (Kehidupan Sehari-hari Empat Golongan: Prajurit, Petani, Pengrajin, dan Pedagang), pendeta Buddha Zen, Suzuki Shosan (1579-1655) mengisahkan pertanyaan seorang petani: mengapa ia harus bekerja keras di ladang sehingga waktunya berkurang untuk menjalankan hidup secara Buddhis dan meraih pahala bagi kehidupan akhirat? Menurut sang petani, tidaklah adil jika seseorang harus membuang waktu untuk kerja fisik dan mencari nafkah, padahal di akhirat nanti dia akan hidup sengsara.Â
Menjawab pertanyaan ini, Shosan mengatakan, "Kerja bertani adalah praktik Buddha." Maksudnya, memisahkan waktu kerja dan waktu doa adalah sebuah kesalahan. Sebab, kerja bertani itu sendiri adalah amal saleh. Kerja bertani atau mencari nafkah dengan cara yang baik berarti membebaskan manusia dari susahnya mencari penghidupan. Sehingga, ketika penghidupan manusia sudah cukup, dia dapat menjalankan ibadahnya dengan baik. Jadi, berbekal niat yang benar, segala kerja seseorang adalah amal Buddhis.
Lebih jauh lagi, Buddhisme bahkan lebih memuliakan petani ketimbang pendeta karena pendeta itu tidak bekerja sedikit pun. Dengan kata lain, sendi utama etos kerja Buddha adalah kerja itu ibadah untuk meraih bun (pahala) sebagai modal mencapai nirwana sesudah mati. Kerja bukan sekadar aktivitas ekonomi, melainkan amal saleh Buddhisme.Â
Ketiga, ajaran soal ketabahan, keuletan, dan kesabaran. Merujuk Ann Weng Seng dalam Rahasia Sukses Orang Korea (Hikmah, 2006), Buddhisme mengajarkan bahwa dunia ini penuh dengan masa sulit dan kemelut---masa krisis. Kehidupan terbiasa dengan kekejaman, kematian dan penderitaan akibat perbuatan manusia dan hawa nafsu yang tak terbendung.
Karena tak bisa dihindari, segala kesukaran bagi orang Korea adalah batu loncatan dalam mencapai keberhasilan, termasuk di bidang ekonomi. Logikanya, keberhasilan dan kekayaan akan dapat mengikis penderitaan hidup. Jadi, berani berjuang untuk mengubah penderitaan adalah jalan mencapai kebahagiaan dan kemakmuran. Berbekal ajaran inilah, bangsa Korea mampu bangkit dari pepuingan Perang Korea untuk menjadi raksasa Asia dan bahkan dunia. Juga, keluar dari krisis ekonomi bertubi-tubi dengan prestasi ekonomi mengesankan.
Keempat, sikap hemat, efisien, dan mandiri. Ekonom E.F. Schumacher dalam Small is Beautiful (1973:57) meringkaskan, Buddhisme mengajarkan bahwa tujuan akhir makhluk ekonomi seyogianya adalah mencapai kesejahteraan secara maksimal dengan konsumsi seminimal mungkin. Sebab, konsumsi sekadar sarana mencapai kesejahteraan manusia, Maka itu, ekonomi Buddhis lebih mengutamakan swasembada ketimbang mengiyakan impor. Bagi Buddhisme, impor adalah perilaku konsumtif yang menciptakan ketergantungan dan memasung kemandirian. Selain itu, impor meniscayakan proses distribusi yang rakus energi sehingga tidak ramah lingkungan