Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ada Jejak Konfusianisme dalam Pancasila

22 Januari 2025   07:15 Diperbarui: 22 Januari 2025   06:19 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Konfusius (Sumber: kemenag.go.id)

Warga keturunan Tionghoa di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, sedang bersuka ria menyambut Hari Raya Imlek. Secara khusus di Indonesia, ada satu lagi alasan mengapa hari raya para warga keturunan Tionghoa ini penting. Yaitu, betapa Konfusianisme atau Konghucu sebagai salah satu dari Sam Kauw alias Tiga Agama khas China---dua lagi adalah Buddha dan Tao---ternyata memiliki kesejajaran dengan dasar filsafat negara kita, Pancasila.

Memang, banyak orang lupa bahwa Pancasila sejatinya merupakan satu dasar negara yang meramu pelbagai budaya, paham, dan agama yang hidup di Indonesia, tentunya termasuk Konfusianisme. Apalagi, Konfusianisme sudah dikenal di Indonesia sebelum abad ke-19. Bahkan pada 1965, Bung Karno menerbitkan sebuah peraturan yang mengakui enam agama di Indonesia: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. 

Hanya saja, pamor Konfusianisme mulai terkikis ketika rezim Soeharto pada akhir 1978 menerbitkan surat edaran Menteri Dalam Negeri yang hanya mengakui lima agama dan mengecualikan Konghucu. Alasan strategisnya kala itu adalah Konghucu dianggap salah satu faktor yang menghambat asimilasi warga keturunan Tionghoa di Indonesia (Leo Suryadinata, "Agama Konghucu dan Buddha Pasca-Soeharto", dalam Setelah Air Mata Kering, Penerbit Kompas, 2010).

Untungnya, kondisi mulai berubah seiring datangnya reformasi. Bermula dari pernyataan lisan Menteri Agama pada masa Presiden B.J. Habibie yang mengakui kembali Konghucu sebagai agama, penganut Konghucu kian bergembira setelah Presiden Abdurrahman Wahid pada 31 Mei 2000 melalui Menteri Agama Surjadi menerbitkan satu instruksi (Nomor 477/805/Sj) yang membatalkan surat edaran 1978 tadi. Selain itu, Gus Dur membatalkan Keputusan Presiden Nomor 14/1967 yang melarang orang Tionghoa merayakan hari raya mereka di tempat umum.

Jejak Konfusianisme dalam Pancasila

 Maka itu, kinilah saat yang tepat untuk mengangkat kembali sumbangsih Konfusianisme terhadap konsepsi tatanan sosial ideal Pancasila. Merujuk Frans Magnis-Suseno dalam Filsafat Kebudayaan Politik (Gramedia, 1995), esensi Pancasila adalah keadilan. Artinya, tatanan sosial ideal Indonesia haruslah satu tatanan adil yang memiliki nilai ketuhanan alias nilai moral, menganut prinsip kemanusiaan universal yang anti-diskriminasi, menanamkan rasa cinta-bangsa, menjalankan mekanisme kedaulatan rakyat berdasarkan musyawarah mufakat, dan mengikis kesenjangan ekonomi sekaligus menjamin pemerataan kesejahteraan.

 Beranjak dari sini, kita bisa melihat betapa selaras inti Pancasila itu dengan spirit Konfusianisme. Pertama, mengutip Konrad Kebung dalam Filsafat Berpikir Orang Timur (Prestasi, 2011), ajaran moral atau ketuhanan persis merupakan inti Konfusianisme. Tanpa moral yang baik, tidak akan ada manusia yang baik. Kemudian, tanpa manusia-manusia yang baik, runtuhlah cita-cita membangun pemerintahan yang baik. Karena itu, penguasa harus menggunakan rasa moral guna menciptakan kesejahteraan bagi warganya.

 Kedua, Konfusianisme mengajarkan konsep ren terkait cara pandang kemanusiaan ideal. Ren adalah kemanusiaan universal yang tidak memandang SARA. Menurut ren, manusia bisa disebut manusia jika ia mampu menjalin relasi dengan manusia lain. Maka itu, jalinan relasi tersebut harus dibangun dengan sikap-sikap kejujuran, kebijaksanaan, kesetiakawanan, solidaritas dan saling menghormati. Dengan kata lain, Konfusianisme menekankan pentingnya sesama manusia untuk bersikap toleran dan merasa diri sebagai satu kesatuan. Artinya, ini selaras dengan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan sila ketiga, Persatuan Indonesia, dalam Pancasila.

Ketiga, Konfusianisme terkait politik menyatakan bahwa negara harus dibangun berdasarkan negara-keluarga serta dijalankan secara hierarkis. Orang-orang berkedudukan lebih rendah harus patuh kepada sesepuhnya, sementara para sesepuh mesti menunjukkan respek dan kemurahan hati kepada orang berkedudukan lebih rendah sebagai balasannya.

 Bahasa mudahnya, ajaran politik Konfusianisme memandang Negara sebagai Bapak, sementara rakyat merupakan anak. Karena itu, negara berkewajiban mengayomi rakyat dengan sebaik-baiknya, sementara tugas rakyat adalah mematuhi negara sepanjang negara berbuat benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun