Terlepas dari runtuhnya Uni Soviet dan Jerman Timur di era 1980-an akhir dan 1990-an awal, ajaran Karl Marx masih cukup populer di berbagai belahan dunia. Daya pikatnya juga kuat di kalangan anak muda, barang kali karena ajaran ini mampu memuaskan gejolak darah panas di dalam diri anak muda yang berjiwa pemberontak (rebellious). Jadi, ajaran Marx mungkin sudah wafat dalam praktik institusional bernegara, tapi ia masih laku sebagai pisau analitis untuk mengkritik mode produksi kapitalistis, yang kini bertransformasi menjadi kapitalisme neoliberal global.
 Filsafat Marx juga masih memukau karena bertujuan mulia: ingin mengembalikan fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Sebagaimana dijelaskan sosiolog Arief Budiman dalam Sistem Pancasila dan Ideologi-Ideologi Dunia (Gramedia, 1981), Marx memiliki asumsi bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang menjalani kehidupan secara adil dan setara. Hanya sayangnya, kedatangan kapitalisme dan sistem pasar bebas yang memungkinkan manusia mengumpulkan kekayaan telah membuat manusia menyimpang menjadi makhluk serakah yang egoistis lagi individualistis. Karena itu, Marx mencita-citakan penghapusan hak milik produksi dan kediktatoran proletariat dalam sosialisme untuk membuat manusia kembali sebagai makhluk sosial. Dari sini, kita bisa mengatakan filsafat Marx adalah filsafat humanis yang ingin memulihkan kembali watak kemanusiaan dari manusia. Untuk jelasnya, bisa dilihat diagram dari Arief Budiman sebagai berikut
 Namun, Ali Syari'ati mengkritik tajam filsafat humanis Marx ini. Menurut Syari'ati dalam Kritik Islam Atas Marxisme (Mizan, 1983), filsafat humanis Marx ini justru tidak humanis. Sebab, Marx  menampik sumber dari norma-norma moral kemanusiaan yang bisa membuat manusia kembali otentik. Marx telah menampik Tuhan sebagai sumber norma moral kemanusiaan karena Tuhan dan agama hanya dianggap sebagai candu. Tuhan hanyalah hasil dari mode produksi kapitalistis dalam infrastruktur ekonomi.
Setelah menampik Tuhan, demikian juga Marx mereduksi manusia secara mekanistis menjadi sekadar hasil dari infrastruktur ekonomi. Manusia jadinya tidak memiliki otonomi maupun kehendak bebas untuk menciptakan norma moralitas kemanusiaannya. Singkat kata, manusia menjadi terdehumanisasi.
Maka itu, ajaran Marx memang masih berguna sebagai pisau analitis membedah kapitalisme modern. Akan tetapi, filsafat Marx tidak bisa diikuti secara membuta. Sebab, itu hanya akan menempatkan manusia di labirin eksistensi tak berujung dan membuat manusia justru terdehumanisasi serta hampa dari hakikat kemanusiaannya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H