Banyak orang jika ditanya apa keinginan mereka di dunia, biasanya banyak yang menjawab: ingin kaya. Kata 'kaya' dan 'kekayaan' sendiri biasanya identik dengan harta material berlimpah, seperti mobil mewah, rumah besar, perhiasan mahal, dan lain sebagainya. Maka itu, banyak orang berlomba-lomba mencari penghasilan banyak untuk memupuk kekayaan.Â
Padahal, banyak studi menunjukkan orang-orang berpenghasilan paling banyak tidak mesti yang paling kaya. Sebab, kekayaan riil sejatinya dilihat dari neraca keuangan---aset dikurangi utang---bukan laporan penghasilan. Misalnya, Thomas J. Stanley dalam The Millionnaire Next Door (2004) mengemukakan bahwa sebagian besar jutawan tidaklah mengendarai Lexus, memakai Rolex, memiliki rumah mewah, dan menjadi anggota janapada (country club) eksklusif. Sebaliknya, mayoritas jutawan alias orang dengan harta bersih minimal $1 juta menjalani gaya hidup yang sepenuhnya berbeda. Sebagai contoh, mayoritas jutawan ini tidak punya rumah lebih dari satu, tidak punya perahu yacht, cenderung mengendarai Toyota ketimbang BMW, dan membelanjakan hanya sedikit uang untuk merek-merek bergengsi dan mewah.
Lalu, mengapa demikian banyak barang mewah berseliweran di negara-negara kaya seperti AS, padahal gaya hidup para jutawannya tidaklah berlebihan? Sederhana: karena ada pembelinya, yaitu orang-orang yang ternyata berlagak kaya. Mereka ini adalah orang terdidik, berprofesi mapan, dan berpenghasilan tinggi yang dari segi neraca keuangan bukanlah orang kaya. Sebab, nyaris mustahil bagi sebagian besar pekerja---bahkan yang bergaji tinggi sekalipun--untuk berbelanja barang konsumsi secara berlebihan dan menabung banyak uang. Padahal, menabung adalah syarat kunci berinvestasi.
Alhasil, terjadilah besar pasak dari tiang yang mewujud dalam bentuk pembiayaan pembelian lewat utang, utamanya utang mudah berbunga tinggi, seperti kartu kredit, kredit tanpa agunan, atau bahkan pinjaman online (pinjol). Tanpa disadari, inilah
benih bom waktu yang hasil menggemparkannya siap dituai dalam jangka menengah: spiral utang gagal bayar yang akan memerosotkan pertumbuhan, membangkrutkan perusahaan, menciptakan pengangguran, dan meluluhlantakkan perekonomian. Pendek kata, bom waktu finansial. Kalau ini terjadi dalam konteks negara berkembang dengan perekonomian yang sedang tumbuh, fenomena ini disebut jebakan penghasilan-menengah alias middle-income trap.
Padahal, akar dari beberapa krisis ekonomi adalah sikap konsumtif berlebihan akibat kepercayaan diri rendah (low self-esteem) dalam diri konsumen. Maksudnya, para pembelanja itu meyakini adagium periklanan klasik, "Anda adalah apa yang Anda beli", sehingga konsumen merasa perlu belanja lebih banyak dan memamerkan produk-produk bermerek lebih banyak ketimbang orang lain supaya bisa tampil istimewa dan tampak sukses. Buah pola pikir ini: orang-orang tanpa merek-merek bergengsi bukanlah pribadi sukses.
Padahal, para jutawan memiliki resep berbeda dalam membangun kekayaan. Sebagian besar mendapatkan kekayaan mereka bukan dari menang undian atau mendapatkan warisan. Melainkan, dari ketekunan memaksimalkan penghasilan, meminimalkan pengeluaran, dan giat menabung dan menginvestasikan selisihnya. Singkat kata, mereka bukanlah pembelanja yang berlebihan.
Resep Jutawan Sejati
Lihat saja, survey Stanley dalam bukunya yang lain, The Millionnaire Mind (2000). Di situ, ia menunjukkan kebiasaan umum para jutawan adalah bersosialisasi dengan anak-cucu (95 persen), merencanakan investasi (94%), menjamu teman dekat (87%), mengunjungi museum (83%), menggalang dana amal (75%), menonton pertandingan olahraga (69%), berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan warga (69%), mempelajari kesenian (63%), berpartisipasi dalam kegiatan asosiasi dagang/profesi (56%),
berkebun (55%), mengikuti kegiatan keagamaan (52%), jogging atau berolahraga (48%), dan mengikuti kuliah atau kursus-kursus (44%)
Jadi, resep sejati para jutawan bisa diperas menjadi empat kata kunci: frugalitas (sikap hemat), kesederhanaan, kematangan budaya, dan kedermawanan. Para jutawan adalah para penabung dan investor penuh disiplin, penuh rasa syukur atas penghasilan mereka, dan hidup bahkan di bawah standar kebutuhan mereka sendiri. Orang-orang ini tidak terdorong oleh sikap hidup konsumtif. Mereka justru lebih terdorong oleh prestasi pribadi, hasil kerja keras, pengakuan, manfaat mereka bagi orang lain, dan keberhasilan generasi penerus mereka. Singkat kata, cara kita membelanjakan diri, dan bukan membelanjakan uang, kitalah yang membuat kita menjadi jutawan sejati.
Â