Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat ini rasanya bisa tersenyum puas. Pasalnya, tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan mereka di 100 hari masa kerja mencapai 80,9 persen (tempo.co, 20/1/2025), suatu modal awal yang bagus untuk bekerja. Namun, sebagai catatan kritis, kita bisa saja menduga tingkat kepuasan itu terjadi karena suatu strategi bernama populisme teknokratik yang memang sulit terhindarkan dalam iklim politik demokrasi yang berwatak oligarkis.
Saat ini, sulit dibantah bahwa demokrasi kita memang dikuasai oligarki modal. Data menunjukkan bahwa 60 persen anggota DPR pusat berasal dari kalangan pengusaha (kompas.com, 4/10/2024).  Kondisi oligarki ini memanifestasikan diri dalam demokrasi berbiaya tinggi (high-cost democracy) di mana nyaris semua kandidat untuk beraneka kontestasi politik harus mengeluarkan dana fantastis. Bayangkan saja, kembali merujuk kompas.com (4/10/2024), seorang calon anggota legislatif harus mengeluarkan dana Rp 80 miliar untuk terpilih! Dana itu bisa datang dari kocek sendiri atau dari sosok patron sponsor.
Akibatnya, merujuk penelitian Amalinda Savarini dan Arya Budi ("Kemandekan Reformasi Internal Politik dan Nasib Demokrasi di Indonesia," Prisma 2, 2023), sebagian besar partai politik (parpol) di Indonesia berciri paternalistik dan klientelistik yang berimplikasi terhadap lemahnya relasi partai dengan konstituen. Paternalisme dan klientelisme dalam parpol adalah situasi di mana partai dan para anggotanya tergantung hanya pada satu sosok berpengaruh (paternal), sehingga sulit bagi kader partai untuk bertindak mandiri dan justru terjebak menjadi sekadar pelaksana partai yang tidak bisa bersikap kritis (klien).
Ini selaras dengan kekhawatiran Herbert Marcuse ketika mengatakan bahwa tatkala uang dan kekuasaan terpusat di negara, maka negara akan memiliki kekuatan besar menjurus absolut dan ini berpotensi melahirkan pembentukan sindikat politik tingkat tinggi yang menelurkan politik kartel pro status quo (Valentinus Saeng, Herbet Marcuse, Gramedia, 2012).
Kemudian, konstelasi politik oligarkis beserta para aktor di dalamnya tentu membutuhkan kestabilan sistam politik untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Karena itu, mereka membutuhkan suatu strategi untuk menenangkan rakyat. Strategi itu mengambil bentuk pendekatan pendekatan eklektik (gado-gado) bernama "populisme teknokratik." Menurut Eric Hiariej
("Politik Pasca-Klientelisme", Prisma 1, 2017), ini adalah bentuk kebijakan yang menjanjikan program kesejahteraan, tapi tidak berasal dari keberpihakan kepada rakyat berdasarkan visi perubahan tertentu. Dengan kata lain, kebijakan itu hanya bersifat minimal untuk menenangkan rakyat, sementara persekutuan klientelisme dengan patron oligark terus berlanjut. Â Jadi, kebijakan yang terkesan pro rakyat terjadi bukan karena faktor ideologis atau bukan karena pemerintah bisa melepaskan diri dari kepentingan oligarki. Â Padahal, jika kebablasan tanpa mengabaikan kondisi ketahanan fiskal (anggaran negara), kebijakan populis dalam jangka panjang akan membahayakan. Ujung-ujungnya, masyarakat yang nanti akan menanggung akibatnya berupa kenaikan berbagai tarif, kenaikan pajak, dan lain sebagainya. Berbagai wacana yang mulai digulirkan pemerintah seperti kenaikan PPN, kenaikan iuran BPJS Kesehatan, pengenaan pajak onsen, dan lain sebagainya, adalah sebagian contohnya.
Oleh karena itu, pemerintah dan rakyat jangan terlalu silau dengan tingkat kepuasan yang saat ini tinggi. Sebaliknya, jadikan ini sebagai alarm maupun cambuk untuk mewaspadai bahaya populisme teknokratis bagi ketahanan fiskal dan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang. Cara untuk waspada adalah dengan memangkas politik biaya tinggi guna mengikis kekuatan oligarki dan cermat merumuskan berbagai kebijakan pro-rakyat dengan memperhatikan kondisi keuangan negara secara keseluruhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H