Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... Penulis - magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Arisan, Kuis Rating Tertinggi Berbekal Konsep Paralogi

20 Januari 2025   21:59 Diperbarui: 20 Januari 2025   20:50 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuis Arisan yang sedang populer belakangan ini dengan dipandu oleh Surya Insomnia (Sumber: jabarekspres.com)

Di tengah situasi acara televisi yang dikuasai oleh tayangan sinetron, siapa sangka tayangan kuis juga mampu merebut hati penonton? Kuis itu bernama Arisan yang tayang di Trans7 setiap hari. Menurut data rating televisi, acara yang dipandu oleh komedian Surya Insomnia ini konsisten bertengger di lima acara dengan rating tertinggi. Bahkan, kuis ini menjadi salah satu acara favorit mantan ibu negara kita, Ibu Iriana Joko Widodo

Namun, kuis ini boleh dibilang aneh bin ajaib. Anak zaman sekarang bilang, 'di luar nalar atau nurul.' Bayangkan saja ada kuis di mana peserta hanya diminta melihat gambar di layar untuk kemudian disuruh menebak pertanyaan sekaligus jawaban kuis. Atau, di kuis mana lagi ada pertanyaan 'rebutan' yang ternyata secara harafiah mengharuskan peserta secara fisik berlomba merebut kartu pertanyaan yang dipegang oleh pembawa acara? Iya, hanya di kuis 'Arisan' ini.

Tapi persis di situlah daya tarik 'Arisan', termasuk bagi generasi milenial dan generasi Z. Karakter pertanyaan sekaligus jawaban yang nyeleneh ternyata selalu bisa dijustifikasi Surya Insomnia yang kadang terlibat dalam dialog argumentatif dengan kontestan kuis, terutama oleh kapten tim peserta yang datang dari kalangan selebritis. Pertukaran argumen terjadi dalam suasana penuh canda tawa, tapi tetap berupaya menggunakan logika yang saling bertabrakan. 

Inilah sesungguhnya bentuk paralogi yang beberapa dasawarsa lalu diutarakan filsuf Jean-Francois Lyotard (Report on Postmodern Condition, 1984). Ketimbang mengutamakan logos (kebenaran) rasional semata yang ingin mencari kebenaran sejati atau konsensus mengenai kebenaran alias kebenaran/konsensus dengan "K" besar, paralogi justru merangkul banyak logos dan ingin memberikan ruang lapang bagi disensus. Perbedaan dirayakan dalam semangat dialog publik yang menyadari bahwa kebenaran selalu bisa digugat, dipertanyakan, dan disoal sesuai dengan konteks ruang dan waktu.

Paralogi melanjutkan pemikiran Ludwig Wittgenstein tentang language-games (Bertens, Filsafat Barat Abad XX: Inggris-Jerman, 1983) yang meyakini bahwa kebenaran itu tidak tunggal. Sebaliknya, kebenaran tergantung pada bahasa dan aturan-bahasa yang digunakan dalam konteks permainan yang sedang digeluti. Tugas filsafat adalah menyelidiki permainan bahasa yang berbeda-beda, menunjukkan aturan-aturan yang berlaku di dalamnya, menetapkan logikanya, dan lain sebagainya. Misalnya saja, kuda
berjalan ke arah depan dalam konteks pertandingan pacuan kuda (horse-racing game), tapi ternyata hanya bisa bergerak membentuk huruf "L" apabila kuda yang dibicarakan dan dihadapi adalah bidak kuda dalam permainan catur (chess game).

Semangat memahami permainan inilah yang disebut budaya Dionysian oleh Yasraf Amir Piliang (Hiperrealitas Kebudayaan, LKIS, 1999). Berlawanan dengan dewa Apollo yang serius dan menggambarkan pendewaan manusia modern terhadap nalar, Dionysius adalah dewa yang menghargai kegembiraan dan keriangan bermain. Budaya Dionysian sejatinya menggugat 'Metafisika kehadiran' (metaphysics of presence) yang begitu serius dengan bekal nalarnya untuk mencari Realitas (Nan Ada atau Being). Sementara itu, teman budaya budaya Dionysian adalah 'metafisika keseharian' Martin Heidegger (F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian, 2003). Inilah bentuk metafisika yang bergulat dengan upaya mencari ketersingkapan (alatheia) Ada dalam waktu yang dihayati layaknya permainan oleh manusia dalam kehidupan sehari-harinya.

Generasi milenial dan generasi Z yang digempur dengan banyak logos dan realitas dalam kehidupan sehari-hari lewat Internet dan media sosial jelas terbiasa dengan banyak permainan bahasa di pelbagai situs media, ruang chat, dan laman media sosial. Karena itu, terbuka peluang lebar untuk mereka menjadi lebih kreatif. Hanya saja, mereka harus pula menggunakan ikhtiarnya dalam menghayati aktivitas keseharian mereka secara lebih kritis. Tujuannya, supaya mereka bisa berjiwa lebih toleran menyikapi perbedaan, lebih inklusif, dan memiliki jiwa pencarian kebenaran tanpa putus di berbagai konteks maupun situasi berbekal kemampuan mengadakan dialog argumentatif tapi menyenangkan. Persis seperti yang kita pirsa sehari-hari dalam kuis 'Arisan'.
 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun